Judul Artikel : STEVEN JOHNSON SYNDROME
Link Artikel : STEVEN JOHNSON SYNDROME
STEVEN JOHNSON SYNDROME
Artikel STEVEN JOHNSON SYNDROME,Tag : STEVEN JOHNSON SYNDROME,
SINDROM STEVEN-JOHNSON
Dr Widodo Judarwanto SpA
CHILDREN ALLERGY CLINIC
Jl Bendungan Asahan 5 Jakarta Pusat
telp : (021) 70081995 - 5703646
email : wido25@hotmail.com , htpp://www.alergianak.blogspot.com
PENDAHULUAN
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa dan mukosa orifisium. Pengelupasan epidermis terjadi pada 10% kasus, sedangkan keterlibatan mukosa dapat mencapai 90% dari keseluruhan kasus. Biasanya sering disertai gejala umum berat yang harus memerlukan perawatan intensif di rumah sakit. Pertama kali diskripsi penyakit ini dilakukan oleh Stevens dan Johnson pada tahun 1922. Dalam kepustakaan istilah umum lain yang digunakan untuk sindrom ini antara lain : eritema eksudativum multiform mayor, sindrom muko-kutaneo-okular, sindrom de Friessinger-Rendu, eritema poliform bulosa atau dermatostomatitis. Istilah eritema multiforme yang sering dipakai sebetulnya hanya digunakan dalam klasifikasi dan diskripsi pada kelainan kulitnya saja.
Pada umumnya SSJ dilaporkan jarang terjadi tetapi mungkin saja angka kejadian sebenarnya lebih tinggi karena pengenalannya kurang begitu baik. Sindrom ini muncul paling sering pada dewasa, namun dapat juga mengenai anak-anak, tetapi jarang dijumpai pada usia di bawah 3 tahun. Sesuai dengan gejala klinis utamanya maka penyakit ini secara umum sering salah dikenal sebagai varisela, difteria, vaksinia, demam scarlet, campak, impetigo, atau meningitis.
Insidens yang dilaporkan berkisar antara 1-10 per sejuta setiap tahun. Di Indonesia angka kejadian kasus ini belum diketahui secara pasti. Bentuk klinis SSJ berat jarang terdapat pada bayi, anak kecil atau orang tua. Lelaki dilaporkan lebih sering menderita SSJ daripada perempuan. Tidak terdapat kecenderungan rasial terhadap SSJ walaupun terdapat laporan yang menghubungkan kekerapan yang lebih tinggi pada jenis HLA tertentu.
PATOFISIOLOGI
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan).
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik. Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi.
Antigen penyebab berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya. Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.
Keterlibatan kausal obat tersebut ditujukan terhadap obat yang diberikan sebelum masa awitan setiap gejala klinis yang dicurigai (dapat sampai 21 hari). Bila pemberian obat diteruskan dan geja]a klinis membaik maka hubungan kausal dinyatakan negatif. Bila obat yang diberikan lebih dari satu macam maka semua obat tersebut harus dicurigai mempunyai hubungan kausal. Obat tersering yang dilaporkan sebagai penyebab adalah golongan salisilat, sulfa, penisilin, antikonvulsan dan obat antiinflamasi non-steroid. Sindrom ini dapat muncul dengan episode tunggal namun dapat terjadi berulang dengan keadaan yang lebih buruk setelah paparan ulang terhadap obat-obatan penyebab.
GEJALA KLINIK
Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk produktif, koriza, sakit kepala, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan artralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Setelah itu akan timbul lesi kulit, mukosa, dan mata yang dapat diikuti kelainan viseral.
Kelainan kulit dapat timbul cepat berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris berupa lesi kecil satu-satu atau kelainan luas pada hampir seluruh tubuh. Lesi kulit biasanya pertama kali terlihat di muka, leher, dagu dan badan. Sering timbul perdarahan pada lesi yang menimbulkan gejala fokal berbentuk target, iris, atau mata sapi. Kulit juga menjadi lebih mudah terkena infeksi sekunder. Predileksi pada area ekstensor tangan dan kaki serta muka yang meluas ke seluruh tubuh sampai kulit kepala. Pada keadaan lanjut dapat terjadi erosi, ulserasi, kulit mengelupas (tanda Nikolsky positif), dan pada kasus berat pengelupasan kulit dapat terjadi pada seluruh tubuh disertai paronikia dan pelepasan kuku. Jumlah dan luas lesi dapat meningkat dan mencapai puncaknya pada hari ke-4 sampai 5, dapat disertai rasa sakit di kulit.
Lesi pada mukosa dapat terjadi bersamaan atau bahkan mendahului timbulnya lesi di kulit. Pada selaput mukosa mulut, tenggorokan, dan genital dapat ditemukan vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan, dan krusta berwarna merah. Terkadang lidah juga menunjukkan kelainan tersebut. Pada faring dapat terbentuk pseudomembran berwana putih atau keabuan yang menimbulkan kesukaran menelan. Pada bibir dapat dijumpai krusta kehitaman yang disertai stomatitis berat pada mukosa mulut. Pasien menjadi sulit makan dan minum sehingga biasanya datang dalam keadaan dehidrasi. Kelainan mukosa jarang terjadi pada hidung dan anus, tetapi pada kasus berat dapat terjadi kelainan mukosa yang luas sampai ke daerah trakeobronkial.
Kelainan mata berupa konjungtivitis kataralis, blefarokonjungvitis, iritis, iridosiklitis, pembentukan pseudomembran, kelopak mata biasanya edema dan sulit dibuka. Sekret pada mata biasanya purulen disertai dengan fotofobia. Pada kasus berat dapat terjadi erosi dan perforasi kornea. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.
Kelainan klinis SSJ biasanya timbul cepat dan menakutkan dengan keadaan umum yang berat, disertai demam, dehidrasi, gangguan pernapasan, muntah, diare, melena, pembesaran kelenjar getah bening dan hepatosplenomegali, sampai pada penurunan kesadaran dan kejang.
Perjalanan penyakit tergantung dari derajat berat penyakitnya, dapat berlangsung beberapa hari sampai 6 minggu. Berbagai komplikasi dapat terjadi seperti ulkus kornea, simblefaron, miositis, mielitis, bronkopneumonia, nefritis, poliartritis, atau septikemia.
DIAGNOSIS
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari hubungan dengan faktor penyebab serta untuk penatalaksanaan secara umum. Pemeriksaan yang rutin dilakukan diantaranya adalah pemeriksaan darah tepi (hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis, hitung eosinofil total, LED), pemeriksaan imunologik (kadar imunoglobulin, komplemen C3 dan C4, kompleks imun), biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Hasil biopsi dapat menunjukkan adanya nekrosis epidermis dengan keterlibatan kelenjar keringat, folikel rambut dan perubahan dermis.
Anemia dapat dijumpai pada kasus berat yang menunjukkan gejala perdarahan. Leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, dan pada hitung jenis terdapat peninggian eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun, dan dapat dideteksi adanya kompleks imun yang beredar. Pada pemeriksaan histopatologik dapat ditemukan gambaran nekrosis di epidermis sebagian atau menyeluruh, edema intrasel di daerah epidermis, pembengkakan endotel, serta eritrosit yang keluar dari pembuluh darah dermis superfisial. Pemeriksaan imunofluoresen dapat memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin. Untuk mendapat hasil pemeriksaan imunofluoresen yang baik maka bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang berumur kurang dari 24 jam.
Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding utama adalah nekrosis epidermal toksik (NET) dimana manifestasi klinis hampir serupa. NET memperlihatkan epidermolisis menyeluruh dengan tanda Nikolsky. Pada NET tidak ditemukan keterlibatan mukosa. Manifestasi klinis lain hampir serupa tetapi keadaan umum NET terlihat lebih buruk daripada SSJ.
PENATALAKSANAAN
Terapi suportif merupakan tata laksana standar pada pasien SSJ. Pasien yang umumnya datang dengan keadaan umum berat membutuhkan cairan dan elektrolit, serta kebutuhan kalori dan protein yang sesuai secara parenteral. Pemberian cairan tergantung dari luasnya kelainan kulit dan mukosa yang terlibat.
Pemberian nutrisi melalui pipa nasogastrik dilakukan sampai mukosa oral kembali normal. Lesi di mukosa mulut diberikan obat pencuci mulut dan salep gliserin.
Untuk mengatasi infeksi, diberikan antibiotika spektrum luas, biasanya dipergunakan gentamisin 5mg/kgBB/hari intramuskular dalam dua dosis. Pemberian antibiotik selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.
Pemberian kortikosteroid sistemik sebagai terapi SSJ masih kontroversial. Kortikosteroid diberikan parenteral, biasanya deksametason dengan dosis awal 1 mg/kgBB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kgBB tiap 6 jam, setelah itu diturunkan berangsur-angsur dan bila mungkin diganti dengan prednison per oral.
Antihistamin diberikan bila perlu saja, khususnya bila ada rasa gatal. Antihistamin yang dapat diberikan adalah setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal. Sedangkan untuk Feniramin hidrogen maleat (Avil) dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari.
Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
Penggunaan Human Intravenous Immunoglobulin (IVIG) dapat menghentikan progresivitas penyakit SSJ dengan dosis total 3 gr/kgBB selama 3 hari berturut-turut (1 gr/kgBB/hari selama 3 hari).
Dilakukan perawatan kulit dan mata serta pemberian antibitik topikal. Kulit dapat dibersihkan dengan larutan salin fisiologis atau dikompres dengan larutan Burowi. Pada kulit atau epidermis yang mengalami nekrosis dapat dilakukan debridement. Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit. Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
Untuk mencegah sekuele okular dapat diberikan tetes mata dengan antiseptik. Faktor penyebab (obat atau faktor lain yang diduga sebagai penyebab) harus segera dihentikan atau diatasi. Deteksi dari penyebab yang paling umum seperti riwayat penggunaan obat-obatan terakhir, serta hubungannya dengan perkembangan penyakit terutama terhadap episode SSJ, terbukti bermanfaat dalam manajemen SSJ.
PROGNOSIS
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.
DAFTAR PUSTAKA
- Fritsch PO, Maldonado RR. Erythema multiforme, Steven-Johnson syndrome, and toxic epidermal necrolysis. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA,
- Darmstadt GL, Sidbury L. Vesicobullous disorders. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds) : Textbook of Pediatrics. 17th Ed Philadelphia, WB Saunders 2004. pp. 2181-4.
- Coursin DB. Stevens-Johnson syndrome: nonspecific parasensitivity reaction? JAMA 1966; 198:133-6.
- Moschella SL, Hurley HJ. Dermatology; edisi ke-2. Tokyo: Igaku-Shoin/Saunders, 1985; 467-73.
- Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced hypersensitivity syndrome in pediatric patients. Pediatrics 2001; 108 : 485-92.
- Gruchalla R. : Understanding drug allergies. J Allergy Clin Immunol 2000; 105 : S637-44.
- Reilly TP, Lash LH, Doll MA. A role for bioactivation and covalent binding within epidermal keratinocytes in sulfonamide-induced cutaneous drug reactions. J Invest Dermatol 2000; 114 : 1164–73.
- Yawalkar N, Egli F, Hari Y. Infiltration of cytotoxic T cells in drug-induced cutaneous eruptions. Clin Exp Allergy 2000; 30 : 847-55.
- Yawalkar N, Shrikhande M, Hari Y. Evidence for a role for IL-5 and eotaxin in activating and recruiting eosinophils in drug-induced cutaneous eruptions. J Allergy Clin Immunol 2000; 106 : 1171-76.
- Strom BL, Carson JL, Halpern AC, et al. A population-based study of Stevens-Johnson syndrome. Incidence and antecedent drug exposures. Arch Dermatol 1991; 127:83l-8.
0 comments:
Posting Komentar