Info Seputar Sukabumi

Tampilkan postingan dengan label ALERGI KULIT DERMATITIS ATOPI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ALERGI KULIT DERMATITIS ATOPI. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 November 2008






Dermatitis Atopik


Dr Widodo Judarwanto SpA

CHILDREN ALLERGY CLINIC
PICKY EATERS CLINIC (KLINIK KESULITAN MAKAN)
Jl Taman Bendungan Asahan 5 Bendungan Hilir Jakarta Pusat
telp : (021) 70081995 – 70081995
email :
cfc2006@hotmail.com , allergyonline@gmail.com




LATAR BELAKANG

  • Dermatitis Atopik (DA) adalah penyakit kulit yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak, ditandai dengan reaksi inflamasi pada kulit dan didasari oleh faktor heriditer dan lingkungan.
  • Angka kejadian di masyarakat adalah sekitar 1-3% dan di Bristol pada anak <>
  • Penyakit ini bersifat kronik residif dengan gejala eritema, papula, vesikel, krusta, skuama dan pruritus yang hebat. Bila residif biasanya disertai infeksi, atau sebagai akibat alergi, faktor psikogenik, atau akibat bahan kimia atau iritan.
  • Penderita dermatitis atopik mempunyai kecenderungan untuk menderita asma, rinitis atau keduanya di kemudian hari yang dikenal sebagai allergic march. Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya seperti asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik.
  • Walaupun demikian, istilah dermatitis atopik tidak selalu memberikan arti bahwa penyakit ini didasari oleh interaksi antigen dengan antibodi. Nama lain untuk dermatitis atopik adalah eksema atopik, eksema dermatitis, prurigo Besnier, dan neurodermatitis.

MEKANISME TERJADINYA PENYAKIT

  • Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum semuanya diketahui, demikian pula pruritus pada DA.
  • Rasa gatal dan rasa nyeri sama-sama memiliki reseptor di taut dermoepidermal, yang disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke saraf spinal sensorik yang selanjutnya diteruskan ke talamus kontralateral dan korteks untuk diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi menyebabkan rasa nyeri.
  • Sebagian besar anak dengan DA terdapat peningkatan kadar IgE total dan eosinofil di dalam darah.
  • Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat berperan pada reaksi inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada lesi yang akut ditandai dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi sedangkan pada DA yang kronis disertai kadar Il-4 dan Il-13 yang lebih rendah, tetapi kadar Il-5, GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-stimulating factor), Il-12 dan INFg lebih tinggi dibandingkan pada DA akut.
  • Imunitas seluler dan respons terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat akan menurun pada 80% penderita dengan DA, akibat menurunnya jumlah limfosit T sitolitik (CD8+), sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD 8+) terhadap limfosit T helper (CD4+) menurun dengan akibat kepekaan terhadap infeksi virus, bakteri, dan jamur meningkat.
  • Mediator yang berperan pada pruritus adalah vasoaktif amin, seperti histamin, kinin, bradikinin, leukotrien, prostaglandin dan sebagainya,
  • Trauma mekanik (garukan) akan melepaskan TNF-a dan sitokin pro inflammatory lainnya di epidermis, yang selanjutnya akan meningkatkan kronisitas DA dan bertambah beratnya eksema.
  • Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang mempunyai afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE lewat reseptor FceRI pada permukaannya, dan beperan untuk mempresentasikan alergen ke limfosit Th2, mengaktifkan sel memori Th2 di kulit dan yang juga berperan mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di dalam sirkulasi.
  • Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA antara lain adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis). Kekeringan kulit diperberat oleh udara yang lembab dan panas, banyak berkeringat, dan bahan detergen yang berasal dari sabun. Kulit yang kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun, sehingga dengan rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan mekanik, dan termal akan mengakibatkan rasa gatal.

FAKTOR-FAKTOR PENCETUS

  • Berdasarkan hasil Double Blind Placebo Controlled Food Challenge (DBPCFC), hampir 40% bayi dan anak dengan DA sedang dan berat mempunyai riwayat alergi terhadap makanan.
  • Bayi dan anak dengan alergi makanan umumnya disertai uji kulit (skin prick test) dan kadar IgE spesifik positif terhadap pelbagai macam makanan.
  • Uji kulit positif terhadap suatu makanan tertentu, tidak berarti bahwa penderita tersebut alergi terhadap makanan tersebut, oleh karena itu masih diperlukan suatu uji eliminasi dan provokasi terhadap makanan tersebut untuk menentukan kepastiannya.
  • Penderita dengan DA mempunyai tendensi untuk disertai infeksi kulit oleh kuman umumnya Staphylococcus aureus, virus dan jamur. Akibat infeksi kuman Stafilokokus akan dilepaskan sejumlah toksin yang bekerja sebagai superantigen, mengaktifkan makrofag dan limfosit T, yang selanjutnya melepaskan histamin.

MANIFESTASI KLINIS

  • Gejala DA timbul sebelum bayi berumur 6 bulan, dan jarang terjadi di bawah usia 8 minggu. Dermatitis atopik dapat menyembuh dengan bertambahnya usia, tetapi dapat pula menetap bahkan meluas dan memberat sampai usia dewasa.
  • Terdapat tiga bentuk klinis dermatitis atopik, yaitu bentuk infantil, bentuk anak, dan bentuk dewasa.
  • Bentuk infantile, berbentuk dermatitis akut eksudatif dengan predileksi daerah muka terutama pipi dan daerah ekstensor ekstremitas. Bentuk ini berlangsung sampai usia 2 tahun. Predileksi pada muka lebih sering pada bayi yang masih muda, sedangkan kelainan pada ekstensor timbul pada bayi sel sudah merangkak. Lesi yang paling menonjol pada tipe ini adalah vesikel dan papula, serta garukan yang menyebabkan krusta dan terkadang infeksi sekunder. Gatal merupakan gejala yang mencolok sel bayi gelisah dan rewel dengan tidur yang terganggu. Pada sebagian penderita dapat disertai infeksi bakteri maupun jamur.
  • Bentuk anak merupakan lanjutan dari bentuk infantil, walaupun diantaranya terdapat suatu periode remisi. Gejala klinis ditandai oleh kulit kering (xerosis) yang lebih bersifat kronik dengan predileksi daerah fleksura antekubiti, poplitea, tangan, kaki dan periorbita.
  • Bentuk dewasa terjadi pada usia sekitar 20 tahun. Umumnya berlokasi di daerah lipatan, muka, leher, badan bagian atas dan ekstremitas. Lesi berbentuk dermatitis kronik dengan gejala utama likenifikasi dan skuamasi.


DIAGNOSIS

  • Hanifin dan Lobitz (1977) menyusun petunjuk yang sekarang diterima sebagai dasar untuk menegakkan diagnosis DA Mereka mengajukan berbagai macam kriteria yang dibagi dalam kriteria mayor dan kriteria minor.
  • Kriteria minimal untuk menegakkan diagnosa DA meliputi pruritus dan kecenderungan dermatitis untuk menjadi kronik atau kronik residif dengan gambaran morfologi dan distribusi yang khas.
  • Dermatitis atopik dikenal sebagai gatal yang menimbulkan kelainan kulit, bukan kelainan kulit yang menimbulkan gatal. Tetapi belum ada kesepakatan pendapat mengenai hal ini, karena pada pengamatan, lesi di muka dan punggung bukan diakibatkan oleh garukan, selain itu dermatitis juga terjadi pada bayi yang belum mempunyai mekanisme gatal-garuk.

Kriteria diagnosis dermatitis atopik

  • Kriteria mayor ( > 3)
    Pruritus
    Morfologi dan distribusi khas :
    dewasa : likenifikasi fleksura
    bayi dan anak : lokasi kelainan di daerah muka dan ekstensor
    Dermatitis bersifat kronik residif
    Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya
  • Kriteria minor ( > 3)
    Xerosis
    Iktiosis/pertambahan garis di palmar/keatosis pilaris
    Reaktivasi pada uji kulit tipe cepat
    Peningkatan kadar IgE
    Kecenderungan mendapat infeksi kulit/kelainan imunitas selular
    Dermatitis pada areola mammae
    Keilitis
    Konjungtivitis berulang
    Lipatan Dennie-Morgan daerah infraorbita
    Keratokonus
    Katarak subskapular anterior
    Hiperpigmentasi daerah orbita
    Kepucatan/eritema daerah muka
    Pitiriasis alba
    Lipatan leher anterior
    Gatal bila berkeringat
    Intoleransi terhadap bahan wol dan lipid solven
    Gambaran perifolikular lebih nyata
    Intoleransi makanan
    Perjalanan penyakit dipengaruhi lingkungan dan emosi
    White dermographism/delayed blanch


DIAGNOSIS BANDING

  • Skabies Pada bayi gejala klinis DA terutama mulai dari pipi dan tidak mengenai telapak tangan serta kaki. Tanda skabies pada bayi ditandai dengan papula yang relatif besar (biasanya pada punggung atas), vesikel pada telapak tangan dan kaki, dan terdapat dennatilis pruritus pada anggota keluarga. Tungau dan telur dapat dengan mudah ditemukan dari scraping vesicle. Skabies memberi respons yang baik terhadap pengobatan dengan γ-benzen heksaklorida.
  • Dermatitis seboroik infantil Penyakit ini dibedakan dari DA dengan: (1) pruritus ringan, (2) onset invariabel pada daerah pantat halus, tidak bersisik, batas jelas, merah terang, dan (3) sisik kuning gelap pada pipi, badan dan lengan. Dermatitis seboroik infantil sering berhubungan dengan dermatitis atopik. Pada suatu penelitian, 37% bayi dengan dermatitis seboroik akan menjadi DA 5-13 tahun kemudian.
    Dermatitis kontak Anak yang lebih tua dengan DA dapat menjadi eksema kronik pada kaki. Bentuk ini harus dibedakan dengan dermatitis kontak karena sepatu.

PENATALAKSANAAN

  • Langkah utama dalam penatalaksanaan penderita DA adalah menghindari atau sedikitnya mengurangi faktor penyebab, misalnya eliminasi makanan, faktor inhalan, atau faktor pencetus sel
  • Penghindaran faktor alergen pada bayi berumur kurang dari l tahun akan mengurangi beratnya gejala. DA. Maka dianjurkan agar bayi dengan riwayat keluarga alergi memperoleh hanya ASI sediIkitnya 3 bulan, bila mungkin 6 bulan pertama dan ibu yang menyusui dianjurkan untuk tidak makan telur, kacang tanah, terigu, dan susu sapi. Susu sapi diduga merupakan alergen kuat pada bayi dan anak, maka bagi mereka yang jelas alergi terhadap susu dapat dipergunakanbangkan untuk menggantinya dengan susu kedelai, walaupun kemungkinan alergi terhadap susu kedelai masih ada.

PENGOBATAN

  • Pengobatan topikal untuk mengatasi kekeringan kulit dan peradangan. Pemberian pelembab kulit penting untuk menjaga hidrasi antara lain dengan dasar lanolin, krim air dalam minyak, atau urea 10% dalam krim. Mengatasi kekeringan kulit atau memelihara hidrasi kulit dapat dilakukan dengan mandi memakai sabun lunak tanpa pewangi.
  • Meskipun mandi dikatakan dapat memperburuk kekeringan kulit, namun berguna untuk mencegah terjadi infeksi sekunder. Jangan menggunakan sabun yang bersifat alkalis dan sebaliknya pakailah sabun atau pembersih yang mempunyai pH 7,0Untuk mengatasi peradangan dapat diberikan krim kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid topikal golongan kuat sebaiknya berhati-hati dan tidak digunakan di daerah muka. Apabila dermatitis telah teratasi maka secepatnya pengobatan dialihkan pada penggunaan kortikosteroid golongan lemah atau krim pelembab. Untuk daerah muka sebaiknya digunakan krim hidrokortison 1%.
  • Dengan pengobatan topikal yang baik dapat dicegah penggunaan pengobatan sistemik. Karena perjalanan penyakit DA adalah kronik dan residif, maka untuk pemakaian kortikosteroid topikal maupun sistemik untuk jangka panjang sebaiknya diamati efek samping yang mungkin terjadi. Bila dengan kortikosteroid topikal tidak adekuat untuk menghilangkan rasa gatal dapat ditambahkan krim yang mengandung mental, fenol, lidokain, atau asam salisilat. Bila dengan pengobatan topikal ini tetap tidak adekuat, maka dapat dipertimbangkan pemberian pengobatan sistemik.
  • Untuk mengurangi rasa gatal dapat diberikan antihistamin (H1) seperti difenhidramin atau terfenadin, atau antihistamin nonklasik lain.
  • Kombinasi antihistamin H1 dengan H2 dapat menolong pada kasus tertentu. Pada bayi usia muda, pemberian sedasi dengan kloralhidrat dapat pula menolong. Penggunaan obat lain seperti sodium kromoglikat untuk menstabilkan dinding sel mast dapat memberikan hasil yang memuaskan pada 50% penderita.
  • Penggunaan kortikosteroid oral sangat terbatas, hanya pada kasus sangat berat dan diberikan dalam waktu singkat, misalnya prednison 0,5-1,0 mg/kgBB/hari dalam waktu 4 hari.
  • Antibiotik sistemik dapat dipertimbangkan untuk mengatasi DA yang luas dengan infeksi sekunder.

DAFTAR PUSTAKA

  • Eichenfield LF, Hanifin JM, Luger TA. Consensus conference on pediatric atopic dermatitis. J Am Acad Dermatol. Dec 2003;49(6):1088-95.
  • Sauer GC. Manual of Skin Diseases. Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 1991:77-84.
  • Flohr C, Pascoe D, Williams HC. Atopic dermatitis and the 'hygiene hypothesis': too clean to be true?. Br J Dermatol. Feb 2005;152(2):202-16.
  • Habif TP. Clinical Dermatology: Fourth Edition A Color Guide to Diagnosis and Therapy. 2004;105-128.
  • Hanifin JM, Paller AS, Eichenfield L. Efficacy and safety of tacrolimus ointment treatment for up to 4 years in patients with atopic dermatitis. J Am Acad Dermatol. Aug 2005;53(2 Suppl 2):S186-94.
  • Hoare C, Li Wan Po A, Williams H. Systematic review of treatments for atopic eczema. Health Technol Assess. 2000;4(37):1-191
  • Kay J, Gawkrodger DJ, Mortimer MJ. The prevalence of childhood atopic eczema in a general population. J Am Acad Dermatol. Jan 1994;30(1):35-9.
  • Simpson EL, Hanifin JM. Atopic dermatitis. Med Clin North Am. Jan 2006;90(1):149-67.