CHILDREN ALLERGY CLINIC
PICKY EATERS CLINIC (KLINIK KESULITAN MAKAN)
Jl Taman Bendungan Asahan 5 Bendungan Hilir Jakarta Pusat
telp : (021) 70081995 – 70081995
email : cfc2006@hotmail.com , http://alergianak.blogspot.com
- Gangguan kulit itu secara umum dapat diakibatkan oleh reaksi simpang makanan. Alergi makanan hanya sekitar 30% dari reaksi simpang makanan, di samping intoleransi dan reaksi simpang lainnya.
- Semua gangguan kulit yang bukan disebabkan infeksi sering dianggap karena alergi makanan. Padahal tidak semua manifestasi yang mengganggu kulit penyebabnya adalah alergi. Penyebab lain yang bisa mengganggu adalah intoleransi dan celiac juga dapat mengakibatkan gangguan kulit, hanya saja pada intoleransi makanan dan celiac keluhan sangat ringan dan relatif tidak gatal.
- Sebaliknya baik penderita ataupun sebagian klinisi banyak yang menganggap bahwa makanan bukan penyebab dan tidak berperanan dalam gangguan kulit tersebut. Hal ini timbul karena untuk mencari penyebab makanan sangat sulit bukan hanya sekedar pemeriksaan darah tetapi membutuhkan tehnik dan strategi khusus. Karena banyak makanan yang dapat mengakibatkan reaksi lambat lebih 8 jam baru timbul gejala setelah mengkonsumsi makanan tertentu.
- Tampaknya alergi makanan berperanan penting sebagai penyebab dalam gangguan kulit tersebut yang juga disebut ”dermatitis atopik”.
ALERGI MAKANAN DAN GANGGUAN KULIT - Alergi makanan adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap makanan.
- Hubungan antara dermatitis atopi dan alergi makanan cukup kompleks. Diduga sebagian anak dengan dermatitis atopik memiliki alergi makanan termediasi IgE dengan angioedema dan urtikaria. Tidak diragukan lagi bahwa alergi makanan yang dimediasi IgE dapat menjadi pencetus eksaserbasi dermatitis atopi.
- Diagnosis alergi makanan dibuat berdasarkan diagnosis klinis, yaitu anamnesa (mengetahui riwayat penyakit penderita) dan pemeriksaan yang cermat tentang riwayat keluarga, riwayat pemberian makanan, tanda dan gejala alergi makanan sejak bayi dan dengan eliminasi dan provokasi.
- Untuk memastikan makanan penyebab alergi harus menggunakan Provokasi makanan secara buta (Double Blind Placebo Control Food Chalenge = DBPCFC). DBPCFC adalah gold standard atau baku emas untuk mencari penyebab secara pasti alergi makanan.
- Children Allergy Clinic melakukan modifikasi dengan cara yang lebih sederhana, murah dan cukup efektif. Modifikasi DBPCFC tersebut dengan melakukan “Eliminasi Provokasi Makanan Terbuka Sederhana”.
- Demikian juga untuk intoleran dan celiac, terdapat pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah dan sebagainya. Tetapi pemeriksaan tersebut tidak memastikan penyebab makanan. Diagnosisnya juga harus melakukan eliminasi provokasi.
PENANGANAN
· Penanganan terbaik pada penderita alergi makanan dengan gangguan kulit adalah adalah dengan menghindari makanan penyebabnya.
· Pemberian obat-obatan anti alergi dalam jangka panjang adalah bukti kegagalan dalam mengidentifikasi makanan penyebab alergi.
PENCEGAHAN DAN DETEKSI DINI
· Deteksi gejala alergi harus dilakukan sejak dini, sehingga pengaruh terhadap gangguan kulit serta gangguan yang menyertai seperti gangguan saluran cerna, hidung atau gangguan perilaku dapat dicegah atau diminimalkan.
MANIFESTASI KLINIS GANGGUAN HIPERSENSITIVITAS MAKANAN
Tanda dan gejala alergi pada kulit sangat bervariasi. Gangguan ini biasanya sudah dapat di deteksi sejak lahir. - Bayi yang baru lahir
Apabila sejak dalam kandungan sudah terpapar oleh faktor hipersensitivitas makanan tampak terdapat bintil dan bercak merah tua dan kusam pada kulit dahi dan wajah, kadang disertai timbulnya beberapa bintil kecil warna putih (seperti lemak) di hidung. - Beberapa saat setelah lahir
Timbul bintil kemerahan di beberapa bagian tubuh terutama wajah, dada dan di daerah popok. Gangguan ini sering diakibatkan oleh pemberian morphin (obat anestesi) yang diberikan saat persalinan. Bila ibu punya bakat alergi, pada saat yang sama biasanya juga mengalami gangguan gatal kadang tanpa disertai tanda kemerahan di kulit. - Pada bayi :
o Dermatitis atopi di pipi, daerah popok (dermatitis diapers) dan telinga,
o Dermatitis seboroikum atau timbul kerak di kulit kepala.
o Bintik kemerahan di sekitar mulut.
o Furunkel (bisul) di kepala dan badan.
· Pada anak yang lebih besar :
o Urticaria (gatal), meskipun pada urtikaria kronis penyebab utamanya bukan hanya makanan karena banyak faktor yang berpengaruh seperti infeksi dan faktor lainnya.
o miliaria (biang keringat)
o Bengkak di bibir,
o Gambaran putih seperti panu (pitiriasis alba)
o vaskulitis atau pembuluh darah yang pecah dengan gambaran lebam biru kehitaman seperti bekas terbentur, bercak ke hitam seperti bekas digigit nyamuk.
o Kulit kering dan bersisik. - Perbedaan lokasi alergi kulit sesuai dengan usia tertentu.
o Pada bayi sering lokasi alergi sekitar wajah dan daerah popok
o Usia anak lokasi tersebut biasanya berpindah pada darerah lengan dan tungkai.
o Anak yang lebih besar atau usia dewasa lokasi alergi kulit biasanya pada pelipatan dalam antara lengan atas dan bawah atau pelipatan dalam antara tungkai atas dan bawah
Gambar 3. Gangguan kulit alergi pada bayi khas di daerah popok dan pipi (dermatitis atopis/ diapers dermatitis), pendapat tidak benar bahwa gangguan ini karena kena ASI di kulitnya.
INTERPRETASI BERBEDA DALAM MENYIKAPI GEJALA KULIT YANG ADA
Sebagian besar penderita bahkan sebagian klinisi atau dokter sering berbeda dalam menyikapi keadaan klinis gangguan kulit yang timbul : - GANGGUAN KULIT merah dan gatal SERING DIANGGAP KARENA AIR KOTOR PADAHAL BANYAK ORANG YANG MEMAKAI AIR YANG SAMA TIDAK TERJADI MASALAH PADA KULITNYA.
- BENTOL-BENTOL HITAM DI KAKI DAN DITANGAN SERING DIANGGAP KARENA GIGITAN NYAMUK, PADAHAL BANYAK ORANG YANG SATU RUANGAN KULITNYA MULUS TIDAK TERGANGGU. Bila cermat menganalisa gangguan tersebut sering bersamaan dengan :
- Gangguan saluran cerna seperti sulit buang air besar, BAB cair, nyeri perut, mual, perut tidak nyaman (bahasa awam : keluhan masuk angin),
- Gangguaan hidung buntu atau bersin
- Sakit kepala
- Bersamaan dengan makanan tertentu yang dikonsumsi seperti : keju, ikan laut, ikan teri, ikan kembung, coklat, kacang dan sebagainya.
GANGGUAN YANG MENYERTAI - Gangguan saluran cerna :
Sulit buang air besar tidak buang air besar tiap hari, sering sulit dan ngeden, berak keras, hitam, bulat dan bau tajam. Mudah diare sehari lebih 3 kali, nyeri perut, mudah muntah, sariawan, mulut berbau dan sebagainya. - Gangguan saluran cerna ini ternyata berpotensi menimbulkan peningkatan gangguan perilaku seperti gangguan tidur, gangguan konsentrasi, gangguan emosi, meningkatkan agresifitas dan memperberat gejala Autis dan ADHD.
- Gangguan hidung : hidung buntu, bersin, pilek, mimisan (epitaksis), bila tidur mulut terbuka atau ngorok (snooring)
- GEJALA ALERGI lainnya seperti asma dan lainnya
- GANGGUAN NEUROANATOMIS : sakit kepala, migrain dan vertigo.
- PADA INTOLERANSI MAKANAN sering disertai : gangguan peningkatan berat badan dan gangguan saluran cerna lain seperti sulit BAB, nyeri perut dan diare.
DIAGNOSIS - Diagnosis alergi makanan dibuat berdasarkan diagnosis klinis, yaitu anamnesa (mengetahui riwayat penyakit penderita) dan pemeriksaan yang cermat tentang riwayat keluarga, riwayat pemberian makanan, tanda dan gejala alergi makanan sejak bayi dan dengan eliminasi dan provokasi.
- Untuk memastikan makanan penyebab alergi harus menggunakan Provokasi makanan secara buta (Double Blind Placebo Control Food Chalenge = DBPCFC). DBPCFC adalah gold standard atau baku emas untuk mencari penyebab secara pasti alergi makanan. Cara DBPCFC tersebut sangat rumit dan membutuhkan waktu, tidak praktis dan biaya yang tidak sedikit.
- Beberapa pusat layanan alergi anak melakukan modifikasi terhadap cara itu. Children Allergy Center Rumah Sakit Bunda Jakarta melakukan modifikasi dengan cara yang lebih sederhana, murah dan cukup efektif. Modifikasi DBPCFC tersebut dengan melakukan “Eliminasi Provokasi Makanan Terbuka Sederhana”.
- FAKTOR YANG MEMPERBERAT. Terdapat beberapa paparan yang memperberat kejadian gangguan kulit tersebut, meskipun saat kulit lagi dalam keadaan sehat fbila terjadi paparan tersebut tidak akan timbul gejala.
- Bahan iritan : bahan wool yang kontak langsung dengan kulit merupakan iritan utama, bahan nilon yang mengkilat dan beberapa akrilik mungkin dapat mengiritasi kulit, tetapi campuran katun dan poliester biasanya tidak.
- Sabun dan busa yang berlebihan akan membuat kulit kering dan banyak produk yang berparfum atau mengandung obat yang dipakai dikulit dapat menyebabkan iritasi.
- Beberapa preparat ekstrak tanaman yang digunakan oleh pengobat alternatif bisa menjadi iritan atau alergen dan karenanya riwayat penggunaan zat ini harus dicari pada saat anamnesis.
INFEKSI :
Dalam keadaan infeksi panas, batuk, diare dan pilek ternayata dapat memicu timbulnya gangguan kulit : seperti kulit kering dan merah dan terkelupas pada daerah punggung dan dada. Keadaan ini sering dianggap karena pemakaian minyak oles atau minyak telon. Padahal dalam keadaan sehat pemakaian minyak telon tidak menghakibatkan keluhan.
Infeksi virus tertentu juga mengakibatkan rash kulit yang menyeluruh atau sering diistilahkan viral exantema. Gejala ini timbul sering terjadi saat demam sudah turun. Keadaan ini sering disalahartikan sebagai penyakit campak. BIASANYA PENDERITA YANG TIMBUL RASH ATAU KEMERAHAN SAAT TERJADI DEMAM ATAU INFEKSI VIRUS ADALAH ANAK YANG MEMANG MEMPUNYAI BAKAT HIPERSENSITIF MAKANAN SEBELUMNYA.
DIARE : dalam keadaan diare infeksi sering terjadi karena pH feses dalam keadaan asam dan bahan iritan lainnya dalam feses dapat mengakibatkan lecet dan kemerahan di daerah pantat dan sekitar kelamin.
PENANGANAN
o Edukasi yang baik dan lengkap merupakan bagian penting dalam keberhasilan tatalaksana alergi makanan. Penanganan yang penting adalah menghindari alergen. Tindakan penghindaran makanan penyebab alergi adalah upaya yang tidak bisa dihindarkan.
o Penggunaan obat baik obat topikal atau minum biasanya juga diberikan pada penderita dengan keadaan tertentu. Ada banyak jenis obat topikal (obat oles) yang dapat digunakan untuk dermatitis atopi.
o Obat kortikosteroid topikal atau imunosupresan topikal sering digunakan untuk kasus seperti ini. Kekuatan kortikosteroid yang dipilih bergantung pada keparahan gejala dan lokasi lesi. Penggunaan kortikosteroid topikal jangka panjang beresiko menimbulkan efek samping berupa atrofi kulit, hipopigmentasi dan sebagainya.
o Dalam keadaan yang mengganggu dermatitis atopi dapat diberikan imunosupresan topikal. Dua jenis imunosupresan topikal yang dapat digunakan yaitu takrolimus dan pimekrolimus. Takrolimus cukup efektif tetapi efek sampingnya adalah rasa kulit seperti terbakar. Penelitian awal pada pimekrolimus (derivat askomisin) pada anak cukup baik.
o Meskipun sangat jarang gangguan kulit tersebut berisiko terjadi infeksi oleh Staphylococcus aureus. Untuk mengobati infeksi lokal bisa digunakan salep asam fusidat. Untuk mencegah infeksi biasanya anak dimandikan dalam air yang mengandung triclosan atau benzilkonium klorida.
o Selain obat-obatan topikal, pada kasus yang berat dapat pula dipertimbangkan obat-obatan oral atau sejenis steroid. Namun pemberian steroid oral jangka panjang harus dipertimbangkan betul karena efek samping yang tidak ringan. Selain steroid terdapat beberapa obat imunosupresan oral yaitu siklosporin dan azathioprine. Obat oral lain yang dapat digunakan adalah antihistamin. Pemberian obat sejenis ketotifen tidak terlaliu bermanfaat.
o Pemberian obat-obatan sebaiknya diberikan dalam jangka pendek atau sekitar 3 -5 hari dan pada kasus yang tidak ringan.
o Pemberian obat jangka panjang adalah merupakan bukti kegagalan penanganan hipersensitivitas makanan dalam mengidentifikasi penyebabnya.
- DAFTAR PUSTAKA
1. Novak N, Bieber T. Allergic and non-allergic forms of atopic disease. J Allergy Clin Immunol 2003; 112:252-262. An excellent review with colored figures of the clinical parameters of allergic and non-allergic atopic dermatitis, asthma and allergic rhinitis. Target organs, cellular and blood parameters are highlighted for each disease.
2. Umetsu DT, Akbari O, DeKruyuff RH. Regulatory T cells control the development of allergic disease and asthma. J Allergy Clin Immunol 2003; 112:480-487. The highlight of this review received the honor of having the figure showing the regulatory events of the dendritic, TR, natural killer T cells and their interaction with the T-helper type 1/2 paradigm of allergic disease and asthma placed on the cover. Immune tolerance and the hygiene hypothesis are also highlighted, all pointing towards the continued need for quality research.
3. Fiocchi A, Martelli A, DeChiara A. Primary dietary prevention of food allergy. Ann Allergy Asthma Immunol 2003; 91:3-13.This review clearly highlights the benefits of a 'proactive' and 'prohibitionist' approach to the first line of prevention of food allergy. Restricted diets, breast-feeding and the role of intestinal microflora and food allergy are presented, with a call for additional clinical research.
4. Zeiger RS. Food allergen avoidance in the prevention of food allergy in infants and children. Pediatrics 2003; 111:1662-1671.The author discusses primary prevention (blocking sensitization) and tertiary prevention (treatment of food allergy) in this review, taking into consideration the views of the APA, the European Society for Pediatric and Clinical Immunology, and the European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition recommendations.
5. Eichenfield LF, Hanifin JM, Beck LA, et al. Atopic dermatitis and asthma: parallels in the evolution of treatment. Pediatrics 2003; 111:608-616. A correlation between atopic dermatitis and asthma with contributions of a genetic background, westernized lifestyle and common pathophysiology of the diseases led to the recommendation for new guidelines for the treatment of atopic dermatitis and asthma in line with those for the diagnosis and management of asthma by the National Asthma Education and Prevention Program.
6. Wuthrich B, Schmid-Grenelmeier P. The atopic eczema/dermatitis syndrome. Epidemiology, natural course, and immunology of IgE-associated ('extrinsic') and the nonallergic ('intrinsic') AEDS. J Invest Allergol Clin Immunol 2003; 13:1-5.This report outlines the definitions of AEDS, with emphasis on allergic, IgE-associated and non-allergic type syndromes at different stages of life with respect to management and allergen avoidance.
7. Wershil BK, Butzner D, Sabra A. Allergy and immunologic disease: working group report of the First World Congress of Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2002; 35 (Suppl 2):S74-S77. A brief review highlighting the work and recommendations of the working group report of the First World Congress of Pediatric Gastroenterology,Hepatology,and Nutrition.The authors suggest interaction with the immune tolerance network as an organizing model for examining food hypersensitivity.
8. Williams PB, Ahlstedt S, Barnes JH, et al. Are our impressions of allergy test performances correct? Ann Asthma Allergy Immunol 2003; 91:26-33. This study highlights the failure of history and physical examinations relative to IgE and skin tests, finding fault with both the allergist and the selection of allergens.
9. Wood RA. The diagnosis of allergy: why is it so difficult? Ann Asthma Allergy Immunol 2003; 91:1-2.
10. Schirerer SH. Clinical aspects of gastrointestinal food allergy in childhood. Pediatrics 2003; 111:1609-1616. This study considers the clinical characteristics of gastrointestinal disorders that affect infancy and beyond, with emphasis on the management - laboratory and diagnostic tests - of food allergy.
11. Burks AW. Skin manifestations of food allergy. Pediatrics 2003; 111:1617-1624. This study discusses the clinical manifestations of food hypersensitivity in the skin from atopic dermatitis to urticaria, angioedema, dermatitis herpetiformis, and Frey's syndrome.
12. Sampson HA. The evaluation and management of food allergy in atopic dermatitis. Clin Dermatol 2003; 21:183-192. This study provides the reader with a decision tree for the diagnosis of food allergy with atopic dermatitis.
13. Galli E, Cicconi R, Rossi P, et al. Atopic dermatitis: molecular mechanisms, clinical aspects and new therapeutic approaches. Curr Mol Med 2003; 3:127-138.
14. Host A, Halken S, Jacobsen HP, et al. Clinical course of cow's milk protein allergy/intolerance and atopic disease in childhood. Pediatr Allergy Immunol 2002; 13:23-28. A prospective approach to show the allergic march.
15. Wijga AH, Smit HA, Kerkof M, et al. Association of consumption of products containing milk fat with reduced asthma risk in pre-school children: the PIAMA birth cohort study. Thorax 2003; 58:567-572. A prospective approach detailing the analytical results suggesting that the daily consumption of full cream milk, milk products, butter, and brown bread were significantly associated with low rates of asthma or wheeze.
16. Lack G, Fox D, Northstone K, Golding J. Factors associated with the development of peanut allergy in childhood. N Engl J Med 2003; 348:977-985. This study discusses the consumption of soy and exposure to topical preparations containing peanut oil as factors contributing to the development of peanut allergy.
17. Magnusson J, Lin XP, Dahlman-Hoglund A, et al. Seasonal intestinal inflammation in patients with birch pollen allergy. J Allergy Clin Immunol 2003; 112:45-51.
18. Yagami T. Allergies to cross-reactive plant proteins. Latex-fruit syndrome is comparable with pollen-food allergy syndrome. Int Arch Allergy Immunol 2002; 128:271-279.This study highlights the expression of plant defence proteins and the role of genetically modified plants in contributing to this source of cross-sensitizing allergy.
19. Macdougall CF, Cant AJ, Colver AF. How dangerous is food allergy in childhood? The incidence of severe and fatal allergic reactions across the UK and Ireland. Arch Dis Child 2002; 86:236-239.This paper presents the results of a retrospective and prospective evaluation of the incidence of near-fatal and fatal allergic reactions to foods and concludes that doctors and parents have little concern with the risk of death.It led to the cautionary remarks provided by Clark and Ewan [20] and O'B Hourihane et al.[21]
20. Clark AT, Ewan PW. Food allergy in childhood. Arch Dis Child 2003; 88:79-81.
21. Hourihane JO'B, Reading D, Smith P, et al. Incidence of severe and fatal reactions to foods. Arch Dis Child 2002; 87:450-451.
22. Hallett R, Haapanen LA, Teuber SS. Food allergies and kissing. N Engl J Med 2002; 346:1833-1834.
23. Steensma DP. The kiss of death: a severe allergic reaction to a shellfish induced by a good-night kiss. Mayo Clin Proc 2003; 78:221-222.
24. Arshad SH, Bateman B, Matthews SM. Primary prevention of asthma and atopy during childhood by allergen avoidance in infancy: a randomized controlled study. Thorax 2003; 58:489-493.Exclusive breast-feeding was shown to be the best risk reduction factor in the prevention/development of asthma, suspected allergic rhinitis, atopic dermatitis, and allergic respiratory disease, in association with environmental exposures.
25. Kull I, Wickman M, Lilja M, et al. Breast feeding and allergic diseases in infants - a prospective birth cohort study. Arch Dis Child 2002; 87:478-481.
26. Szeleny I, Brune K. Herbal remedies for asthma treatment: between myth and reality. Drugs Today 2002; 38:265-303.
27. Lanski SL, Greenwald M, Perkins A, Simon HK. Herbal therapy use in a pediatric emergency department population: expect the unexpected. Pediatrics 2003; 111:981-985.* The identification of common herbal therapies in 142 families reported the most dangerous potential of herbal and prescription medication combinations (ephedra and albuterol, respectively) in adolescents with asthma.
28. Saavedra JM. Clinical applications of probiotic agents. Am J Clin Nutr 2001; 73:1147S-1151S.
29. Karlsson H, Hessle C, Rudin A. Innate immune responses of human neonatal cells to bacteria from the normal gastrointestinal flora. Infect Immun 2002; 70:6688-6696.
30. Laiho K, Ouwehand A, Salminen S, Isolauri E. Inventing probiotic functional foods for patients with allergic disease. Ann Allergy Asthma Immunol 2002; 89:75-82.
31. Laiho K, Hoppu U, Ouwehand AC, et al. Probiotics: on-going research on atopic individuals. Br J Nutr 2002; 88 (Suppl 1):S19-S27.
32. Kirjavainen PV, Salminen SJ, Isolauri E. Probiotic bacteria in the management of atopic disease: underscoring the importance of viability. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2003; 36:223-227. Combined with previous reports from the group, the prospects of viable versus heat-inactivated probiotics in a limited study are presented for the treatment of adverse gastrointestinal symptoms.
33. Kalliomaki M, Isolauri E. Role of intestinal flora in the development of allergy. Curr Opin Allergy Clin Immunol 2003; 3:15-20.
34. Fritsche R. Animal models in food allergy: assessment of allergenicity and preventive activity of infant formulas. Toxicol Lett 2003; 140-141:303-309.
35. Matheu V, Back O, Mondoc E, et al. Dual effects of vitamin D-induced alteration of Th1/Th2 cytokine expression: enhancing IgE production and decreasing airway eosinophilia in murine allergic airway disease. J Allergy Clin Immunol 2003; 112:585-592.
36. Untersmayr E, Scholl I, Swoboda I, et al. Antacid medication inhibits digestion of dietary proteins and causes food allergy: a fish allergy model in BALB/c mice. J Allergy Clin Immunol 2003; 112:616-623. Leung DYM. Atopic Dermatitis. In : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds) : Textbook of Pediatrics. 17th Ed Philadelphia, WB Saunders 2004. pp.774-777.
37. Kristal L, Klein PA. Atopic Dermatitis in Infant and Children. An Update. Pediatr Clin North Am 2000; 47 (4) : 877-95.
38. Bieber T, Leung DYM. Atopic Dermatitis. New York, Marcel Dekker, 2002, pp 1-616.
39. Hoare C, Li Wan Po A, Williams H : Systematic review of treatments for atopic eczema. Health Technol Assess 2000; 4 : 1-191.
40. Luger T, Van Leent EJ, Graeber M. SDZ ASM 981 : An emerging safe and effective treatment for atopic dermatitis. Br J Dermatol 2001; 144 : 788-94.
41. Bezan DJ. Eye itch. In: Bezan DJ, Larussa FP, Nishimoto JH, et al, eds. Differential Diagnosis in Primary Eye Care. Boston: Butterworth-Heinemann; 1999:67-71.
42. Clark RAF, Kristal L. Atopic dermatitis. In: Sams J, Lynch PJ, eds. Principles and Practice of Dermatology. 2nd ed. New York: Churchill Livingstone Inc; 1996:403-418.
43. Friedlander MH. Diseases affecting the eye and the skin. In: Allergy and Immunology of the Eye. 2nd ed. 1993:75-106.
44. Friedlander MH. Atopic dermatitis. In: Current Ocular Therapy. 5th ed. Philadelphia: WB Saunders Co; 2000:143-144.
45. Furue M, Terao H, Moroi Y, et al. Dosage and adverse effects of topical tacrolimus and steroids in daily management of atopic dermatitis. J Dermatol. Apr 2004;31(4):277-83. .
46. Guin JD. Eyelid dermatitis: experience in 203 cases. J Am Acad Dermatol. Nov 2002;47(5):755-65. .
47. Hanifin JM. Atopic dermatitis: broadening the perspective. J Am Acad Dermatol. Jul 2004;51(1 Suppl):S23-4. .
48. Kanski JJ. Disorders of the conjunctiva. In: Clinical Ophthalmology. 4th ed. Boston: Butterworth-Heinemann; 1999:69-71.
49. Liesegang TJ. Atopic keratoconjunctivitis. In: Pepose JS, Holland GN, Wilhelmus KR, eds. Ocular Infection and Immunity. St. Louis: Mosby; 1996:376-390.
50. Rapoza PA, Chandler JW. Atopic dermatitis. In: Weingeist T, Gould D, eds. The Eye in Systemic Disease. Philadelphia: Lippincott; 1990:606-609.
51. Roy FH. Ocular Differential Diagnosis. 7th ed. Philadelphia: Williams & Wilkins; 2002.
52. Shelley WB, Shelley EB. Atopic dermatitis. In: Advanced Dermatologic Diagnosis. Philadelphia: WB Saunders Co; 1992:285-291.
53. Uchio E, Miyakawa K, Ikezawa Z, Ohno S. Systemic and local immunological features of atopic dermatitis patients with ocular complications. Br J Ophthalmol. Jan 1998;82(1):82-7.
54. Weisbecker CA, Fraunfelder FT, Rhee D. Physicians' Desk Reference for Ophthalmology. 28th ed. Oradell, NJ: Medical Economics Co; 2000.
55. Zimmerman TJ, Kulkarni PS, Meredith TA. Steroids in ocular therapy, antibiotics and antifungals, antiallergic therapies. In: Zimmerman TJ, Kooner KS, Shariv M, Fechtner RD, eds. Textbook of Ocular Pharmacology. Philadelphia: Lippincott-Raven; 1997:61-74, 363-385, 609-633,683-701, 801-804.
56. Ben-Gashir MA, Seed PT, Hay RJ: Predictors of atopic dermatitis severity over time. J Am Acad Dermatol 2004 Mar; 50(3): 349-56.
57. Eichenfield LF, Hanifin JM, Luger TA: Consensus conference on pediatric atopic dermatitis. J Am Acad Dermatol 2003 Dec; 49(6): 1088-95.
58. Flohr C, Pascoe D, Williams HC: Atopic dermatitis and the 'hygiene hypothesis': too clean to be true?. Br J Dermatol 2005 Feb; 152(2): 202-16.
59. Habif TP: Clinical Dermatology: Fourth Edition A Color Guide to Diagnosis and Therapy. 2004; 105-128.
60. Hanifin JM, Paller AS, Eichenfield L: Efficacy and safety of tacrolimus ointment treatment for up to 4 years in patients with atopic dermatitis. J Am Acad Dermatol 2005 Aug; 53(2 Suppl 2): S186-94.
61. Hoare C, Li Wan Po A, Williams H: Systematic review of treatments for atopic eczema. Health Technol Assess 2000; 4(37): 1-191.
62. Kay J, Gawkrodger DJ, Mortimer MJ: The prevalence of childhood atopic eczema in a general population. J Am Acad Dermatol 1994 Jan; 30(1): 35-9.
63. Klein PA, Clark RA: An evidence-based review of the efficacy of antihistamines in relieving pruritusin atopic dermatitis. Arch Dermatol 1999 Dec; 135(12): 1522-5
64. Lane JE, Cheyney JM, Lane TN: Treatment of recalcitrant atopic dermatitis with omalizumab. J Am Acad Dermatol 2006 Jan; 54(1): 68-72
65. Larsen FS, Holm NV, Henningsen K: Atopic dermatitis. A genetic-epidemiologic study in a population-based twin sample. J Am Acad Dermatol 1986 Sep; 15(3): 487-94
66. Laughter D, Istvan J, Tofte RN: The prevalence of atopic dermatitis in Oregon schoolchildren. J Am Acad Dermatol 2000 Oct; 43(4): 649-55.
67. Sauer GC: Manual of Skin Diseases. Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 1991: 77-84.
68. Simpson EL, Hanifin JM: Atopic dermatitis. Med Clin North Am 2006 Jan; 90(1): 149-67
END POINT :
- WASPADAI BILA ORANG TUA DAN KELUARGA MENGALAMI ALERGI DAN ASMA DISERTAI GANGGUAN HIPERSENSITIF KULIT MAKA SALAH SATU ANAK ANDA AKAN BERESIKO YANG SAMA BAHKAN MUNGKIN AKAN LEBIH BERAT.
- ALERGI MAKANAN MASIH MISTERIUS DAN BELUM BANYAK TERUNGKAP SEHINGGA DISEKITAR KITA BANYAK TIMBUL KONTROVERSI BAIK OLEH MASYARAKAT ATAU DIANTARA KLINISI (DOKTER) SEHINGGA KADANG MEMBINGUNGKAN ORANGTUA.
- HINGGA KINI BANYAK GANGGUAN KULIT TERSEBUT DI ATAS MASIH BELUM TERUNGKAP JELAS APA PENYEBABNYA. SEHINGGA BANYAK TIMBUL PENDAPAT BERBEDA UNTUK MENDUGA PENYEBABNYA. SERINGKALI JUGA DIANGGAP MANIFESTASI NORMAL.
- TERNYATA BEBERAPA GANGGUAN TERSEBUT HILANG TIMBUL SECARA BERSAMAAN BERKAITAN DENGAN KONSUMSI MAKANAN TERTENTU
SETELAH MENGALAMI SENDIRI DAN MENDENGAR KESAKSIAN ORANGTUA LAINNYA KITA MUNGKIN BARU AKAN PERCAYA FAKTA BAHWA TERNYATA ALERGI MAKANAN DEMIKIAN JAHAT & MENGGANGGU - SERING DIANGGAP BIASA KARENA SEBAGIAN BESAR BAYI BANYAK YANG MENGALAMI PADAHAL BILA TIDAK DIATASI SEJAK DINI DALAM JANGKA PANJANG SAAT USIA LEBIH BESAR GANGGUAN INI BERESIKO MENIMBULKAN BANYAK GANGGUAN SEPERTI ASMA DAN SINUSITIS.
- COBA TANYAKAN PENGALAMAN INI PADA ORANGTUA PENDERITA ALERGI MAKANAN LAINNYA ATAU SETELAH MENGALAMI SENDIRI TERNYATA BAHWA ALERGI MAKANAN SANGAT MENGGANGGU ANAK. MAKA KITA HARUS LEBIH PERCAYA PADA FAKTA YANG TERJADI TERSEBUT, BAHWA ALERGI MAKANAN SANGAT JAHAT.
- MESKIPUN ALERGI TIDAK BISA HILANG SAMA SEKALI , TETAPI ALERGI MAKANAN AKAN BERKURANG SAAT USIA TERTENTU SECARA BERTAHAP DI ATAS USIA 2 – 7 TAHUN
- MENUNDA MAKANAN PENYEBAB ALERGI TIDAK MEMPENGARUHI STATUS GIZI ANAK ASALKAN MENGETAHUI JENIS MAKANAN PENGGANTINYA
- UNTUK MEMASTIKAN PENYEBAB ALERGI MAKANAN BUKAN DENGAN TES ALERGI (TES KULIT ATAU TES DARAH) TETAPI DENGAN menggunakan Provokasi makanan secara buta (Double Blind Placebo Control Food Chalenge = DBPCFC). DBPCFC adalah gold standard atau baku emas untuk mencari penyebab secara pasti alergi makanan. Cara DBPCFC tersebut sangat rumit dan membutuhkan waktu, tidak praktis dan biaya yang tidak sedikit. Beberapa pusat layanan alergi anak melakukan modifikasi terhadap cara itu. A Rumah Sakit Bunda Children Allergy Clinic Jakarta melakukan modifikasi dengan cara yang lebih sederhana, murah dan cukup efektif. Modifikasi DBPCFC tersebut dengan melakukan “Eliminasi Provokasi Makanan Terbuka Sederhana”.
- TES KULIT DAN TES DARAH HANYA UNTUK MEMASTIKAN ADANYA BAKAT ALERGI ATAU TIDAK. TES DARAH DAN TES KULIT ALERGI TIDAK ATAU BELUM MEMASTIKAN PENYEBAB ALERGI. SEBAIKNYA JANGAN MENGHINDARI DAN MEMBOLEHKAN MAKANAN HANYA BERDASARKAN TES KULIT DAN TES DARAH. KESALAHAN INILAH YANG SERING TERJADI SEHINGGA KENAPA PENYEBAB ALERGI SULIT DIKETAHUI DAN SULIT DISEMBUHKAN.
- HINDARI PEMAKAIAN OBAT SALEP DAN MINUM OBAT JANGKA PANJANG & HINDARI KOMPLIKASI YANG TERJADI. PEMBERIAN OBAT JANGKA PANJANG ADALAH BUKTI KEGAGALAN DALAM MENDETEKSI PENYEBAB ALERGI
- ALERGI DAPAT DICEGAH DAN DI DETEKSI SEJAK LAHIR BAHKAN SEJAK DALAM KANDUNGAN
“CHILDREN ALWAYS BENEFIT FROM EARLY DIAGNOSIS”
TO DAY 1 CHILDREN IN 4 IS ALLERGIC
TO DAY I INFANT IN 3 IS ALLERGIC
IDENTIFY WHO !!!!!!
”EVEN THE BEST FOOD CAN MAKE YOUR CHILDREN SICK”
support by
CLINIC FOR CHILDREN
WE SMILE WITH YOU, WORKING TOGETHER SUPPORT ALL OF CHILDREN
Organized by Yudhasmara Foundation
JL TAMAN BENDUNGAN ASAHAN 5 JAKARTA PUSAT, JAKARTA INDONESIA 10210
PHONE : (021) 70081995 – 5703646
email : cfc2006@hotmail.com
www.clinicforchildren.blogspot.com/