Info Seputar Sukabumi

Tampilkan postingan dengan label TES ALERGI 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TES ALERGI 1. Tampilkan semua postingan

Selasa, 14 Oktober 2008


TEST ALERGI






Dr Widodo Judarwanto SpA

CHILDREN ALLERGY CLINIC
PICKY EATERS CLINIC (KLINIK KESULITAN MAKAN)
Jl Taman Bendungan Asahan 5 Bendungan Hilir Jakarta Pusat
telp : (021) 70081995 – 70081995
email : cfc2006@hotmail.com , allergyonline@gmail.com
.





UJI KULIT

Prinsip pemeriksaan uji kulit terhadap alergen ialah adanya reaksi wheal and flare pada kulit untuk membuktikan adanya IgE spesifik terhadap alergen yang diuji (reaksi tipe I). Imunoglobulin G4 (IgG4) juga dapat menunjukkan reaksi seperti ini, akan tetapi masa sensitisasinya lebih pendek hanya beberapa hari, sedangkan IgE mempunyai masa sensitisasi lebih lama yaitu sampai beberapa minggu. Reaksi maksimal terjadi setelah 15-20 menit, dan dapat diikuti reaksi lambat setelah 4-8 jam.
Ada 3 cara untuk melakukan uji kulit, yaitu cara intradermal, uji tusuk (prick test), sel uji gores (scratch test). Uji gores sudah banyak ditinggalkan karena hasilnya kurang akurat.

Uji kulit intradermal
Sejumlah 0,02 ml ekstrak alergen dalam 1 ml semprit tuberkulin disuntikkan secara superfisial pada kulit sehingga timbul 3 mm gelembung. Dimulai dengan konsentrasi terendah yang menimbulkan reaksi, kemudian ditingkatkan berangsur masing-masing dengan konsentrasi 10 kali lipat sampai menimbulkan indurasi 5-15 mm. Uji intradermal ini seringkali digunakan untuk titrasi alergen pada kulit.

Uji tusuk
Uji tusuk dapat dilakukan dalam waktu singkat dan lebih sesuai untuk anak. Tempat uji kulit yang paling baik adalah pada daerah volar lengan bawah dengan jarak sedikitnya 2 sentimeter dari lipat siku dan pergelangan tangan. Setetes ekstrak alergen dalam gliserin (50% gliserol) diletakkan pada permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit ditusuk dan dicungkil ke atas memakai lanset atau jarum yang dimodifikasi, atau dengan menggunakan jarum khusus untuk uji tusuk.
Ekstrak alergen yang digunakan 1.000-10.000 kali lebih pekat daripada yang digunakan untuk uji intradermal. Dengan menggunakan sekitar 5 ml ekstrak pada kulit, diharapkan risiko terjadinya reaksi anafilaksis akan sangat rendah. Uji tusuk mempunyai spesifitas lebih tinggi dibandingkan dengan uji intradermal, tetapi sensitivitasnya lebih rendah pada konsentrasi dan potensi yang lebih rendah.

Faktor yang mempengaruhi
Antihistamin dapat mengurangi reaktivitas kulit. Oleh karena itu, obat yang mengandung antihistamin harus dihentikan paling sedikit 3 hari sebelum uji kulit. Pengobatan kortikosteroid sistemik mempunyai pengaruh yang lebih kecil, cukup dihentikan 1 hari sebelum uji kulit dilakukan. Obat golongan agonis β juga mempunyai pengaruh, akan tetapi karena pengaruhnya sangat kecil maka dapat diabaikan.
Usia pasien juga mempengaruhi reaktivitas kulit walaupun pada usia yang sama dapat saja terjadi reaksi berbeda. Makin muda usia biasanya mempunyai reaktivitas yang lebih rendah. Uji kulit terhadap alergen yang paling baik adalah dilakukan setelah usia 3 tahun.

UJI PROVOKASI OBAT
Cara terbaik untuk membuktikan apakah seseorang alergi tehadap obat tertentu adalah dengan memberikan kembali obat tersebut untuk melihat kemungkinan timbulnya reaksi alergi yang serupa, yang dikenal sebagai uji provokasi obat. Uji provokasi obat dapat dilakukan dengan cara uji tempel (patch test), atau dengan pemberian ulang obat yang dicurigai (rechallenge test) yang sehari-hari disebut sebagai uji provokasi obat.

Uji tempel
Uji tempel sering dipakai untuk membuktikan dermatitis kontak. Suatu seri sediaan uji tempel yang mengandung berbagai obat ditempelkan pada kulit (biasanya daerah punggung) untuk dinilai 48-72 jam kemudian. Uji tempel dikatakan positif bila terjadi erupsi pruritus, eritema, dan vesikular yang serupa dengan reaksi. Klinis alergi sebelumnya, tetapi dengan intensitas dan skala lebih ringan.

Uji provokasi
Persiapan
Uji provokasi obat, yang dalam kepustakaan disebut rechallenge test, adalah pemberian kembali obat yang sudah dihentikan beberapa waktu. Masa penghentian ini harus cukup untuk eliminasi komplit. Karena sulit untuk menentukan eliminasi total maka ada penulis yang menganjurkan untuk menghentikan obat sampai selama 5 kali masa paruh obat tersebut.

Penilaian
Uji provokasi dikatakan positif bila reaksi yang timbul sama dengan gejala dan tanda seperti pada pemberian obat sebelumnya, pada saat dicurigai alergi obat. Bila tidak terjadi reaksi, atau reaksi yang timbul tidak sama dan tidak berhubungan dengan gejala dan tanda alergi, maka uji provokasi dikatakan negatif. Bila reaksi yang timbul tidak sama
tetapi diperkirakan sebagai gejala prodromal alergi obat maka hasil uji provokasi dikatakan sugestif.

Cara provokasi
Uji provokasi biasanya dilakukan untuk pembuktian alergi obat dengan gejala klinis tidak berat, misalnya demam obat atau erupsi obat fikstum. Bila gejala klinisnya berat maka uji provokasi harus dilakukan dengan secara hati-hati.
Sebelum dilakukan uji provokasi dibuat daftar urut obat yang akan diuji, mulai dengan obat yang paling tidak dicurigai. Biasanya diberikan obat mulai dengan dosis rendah secara oral. Dosis awal dapat sampai 1% dari dosis terapeutik, tetapi untuk reaksi alergi obat hebat dosis awal harus 100-1000 kali lebih rendah. Dosis tersebut dinaikkan 10 kali setiap 15-60 menit (tergantung dari cara pemberian obat). Bila terjadi reaksi maka uji provokasi dihentikan, atau dilanjutkan dengan desensitisasi bila obat tersebut dianggap sangat penting dan sulit digantikan. Pada uji provokasi dan desensitisasi harus selalu tersedia peralatan resusitasi untuk mengatasi kedaruratan yang mungkin terjadi.

Desensitisasi
Pada dasarnya desensitisasi adalah perluasan tindakan uji provokasi dengan tujuan untuk melanjutkan pengobatan, bukan hanya diagnosis. Tindakan ini antara lain telah berhasil mengatasi sensitivitas terhadap antituberkulosis ketika belum tersedia obat alternatif untuk tuberkulosis. Akhir-akhir ini telah dilaporkan pula sukses serupa terhadap karbamazepin, sulfasalazin, dan bahkan alopurinol. Umumnya desensitisasi tersebut dilakukan sangat perlahan, dan dosis diturunkan setiap kali timbul reaksi sebelum dinaikkan kembali. Desensitisasi terhadap obat lain umumnya dilakukan lebih cepat.
Desensitisasi terhadap serum xenogenik mulai dengan suntikan 0,l ml subkutan larutan serum dengan pengenceran terendah yang memberi hasil uji kulit positif. Dosis dinaikkan dengan kelipatan dua setiap 15 menit sampai dengan dosis 1 ml serum tanpa pengenceran. Setelah itu diberikan suntikan intramuskular dengan dosis tersebut, dan kemudian suntikan obat dengan dosis penuh.
Desensitisasi penisilin sangat sering dilakukan terhadap pasien dengan uji kulit benzilpenisiloil positif, yang dapat dilakukan secara oral maupun parenteral

Desensitisasi peroral mulai dengan dosis 100 unit dan memerlukan waktu 5 jam dengan kenaikan bertahap sampai selesai. Secara parenteral benzilpenisilin atau homolognya diberikan intravena secara bertahap (lihat Tabel 36-1). Tetesan diberikan perlahan dahulu, kemudian secara bertahap semakin cepat sampai timbul tanda untuk berhati-hati dengan munculnya gejala pruritus atau flush. Pada saat itu tetesan segera dikurangi dan diberikan antihistamin serta kortikosteroid, dan setelah gejala tersebut menghilang tetesan dinaikkan kembali. Umumnya diperlukan waktu 30 menit untuk setiap tahap pengenceran, dan dosis penuh tercapai dalam waktu 3 jam.

Desensitisasi terhadap insulin saat ini jarang dilakukan karena sudah tersedia insulin yang berasal dari manusia Bila dicurigai alergi terhadap insulin manusia dapat dilakukan desensitisasi seperti terhadap serum xenogenik.
Desensitisasi dilaporkan berhasil pula terhadap obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS) yang biasanya tercapai dalam waktu beberapa jam. Dosis awal adalah dosis terkecil yang menimbulkan gejala (biasanya paling rendah 10 mg), kemudian dinaikkan bertahap setiap 3 jam. Toleransi akan terjaga terus bila obat dimakan setiap hari, tetapi akan menghilang bila tidak dimakan lebih dari 2 hari.

UJI PROVOKASI MAKANAN
Persiapan
Sebelum melakukan uji provokasi makanan harus diberikan penjelasan rinci kepada pasien atau orang tua pasien tentang prosedur pemeriksaan, keuntungan dan kegunaan pemeriksaan, serta komplikasi yang mungkin terjadi.

Eliminasi makanan
Eliminasi makanan diperlukan sebelum mclakukan provokasi. Eliminasi dilakukan selama 3 minggu dengan bentuk diet yang disesuaikan dengan anamnesis, pemeriksaaan fisis, dan pemeriksaan laboratorium. Ada 5 bentuk diet yang telah disebutkan di dalam bab tentang alergi makanan. Jika diet eliminasi berhasil menyembuhkan semua gejala alergi maka setelah 3 minggu dari awal diet dapat dilakukan uji provokasi.
Penghentian obat tertentu
Menjelang provokasi maka beberapa jenis obat yang dapat mengganggu penilaian uji provokasi makanan harus disingkirkan dalam selang waktu tertentu, yaitu antihistamin (96 jam), agonis β ( 12 jam), teofilin ( 12 jam), dan kromolin ( 12 jam).

Metode dan cara uji provokasi
Ada 2 macam cara uji provokasi makanan, yaitu uji provokasi makanan terbuka (open food challenge), dan uji provokasi makanan buta ganda (double blind placebo controlled food challenge=DBPCFC).

Uji provokasi makanan terbuka
Jika uji kulit negatif dan riwayat reaksi terhadap makanan meragukan maka uji provokasi makanan terbuka dapat dilakukan setelah melakukan diet eliminasi selama 3 minggu.
Pemilihan makanan
Pemilihan makanan untuk provokasi dilakukan oleh pasien sendiri. Dianjurkan untuk memulai dengan makanan yang paling tidak dicurigai akan menimbulkan reaksi alergi.

Kemasan dan cara pemberian
Setiap kali provokasi dipilih satu jenis bahan makanan dalam bentuk apa saja yang diberikan selama seminggu dalam jumlah seperti biasa dimakan oleh pasien. Misalnya telur, boleh direbus, digoreng atau dadar, satu atau dua butir setiap hari seperti yang biasa dimakan sebelumnya. Provokasi dilakukan di rumah pasien, dan bila terjadi gejala alergi maka makanan tersebut dihentikan.

Pencatatan
Semua gejala yang timbul dicatat, misalnya setelah 2 hari makan telur timbul gejala urtikaria dan pilek. Bila terjadi hal seperti itu maka telur dihentikan pada hari ketiga.

Uji provokasi makanan buta ganda
Cara ini merupakan cara yang ideal untuk menentukan adanya reaksi terhadap makanan.

Pemilihan makanan
Dokter dan pasien tidak mengetahui jenis makanan apa yang akan diuji. Di dalam catatan tidak disebutkan makanan apa yang diberikan dan dicatat reaksi apa saja yang timbul.
Kemasan dan cara pemberian
Bahan makanan dikeringkan lalu dijadikan tepung dan dimasukkan ke dalam kapsul. Ikan, udang dan kerang-kerangan merupakan masalah besar dalam pengemasan karena baunya yang cukup tajam dan rasanya yang cukup khas. Bahan-bahan ini dikeringkan dengan microwave kemudian dimasukkan ke dalam kapsul dan dibekukan atau dimasukkan ke dalam vehikulum.
Untuk memenuhi persyaratan buta ganda maka vehikulum harus memenuhi syarat sebagai berikut, 1) menghilangkan bau, 2) menghilangkan rasa, 3) menghilangkan penampilan, dan 4) dapat memuat sejumlah banyak makanan hingga dapat dilak provokasi multipel dalam beberapa jam. Vehikulum tersebut dapat berupa kapsul, es kering, es krim, saus apel, hamburger, atau campuran tapioka dengan buah dan sop. Kapsul yang dipakai umumnya ukuran 00 terbuat dari gelatin buram dengan bintik-bintik titanium oksida. Untuk 5 gram tepung telur kering biasanya memerlukan 10-15 kapsul. Setelah diisi, kapsul disalut dengan bubuk gula sehingga rasanya sama dengan kapsul plasebo. Plasebo yang dipilih sesuai dengan vehikulum yang dipakai.

Pemberian makanan secara buta
Pemberian harus bertahap mulai dari jumlah yang diperkirakan tidak menyebabkan serangan gejala alergi, kemudian ditingkatkan 2 kali lipat setiap 15-60 menit sampai timbul gejala yang nyata, atau dihentikan setelah mencapai 8-10 gram makanan kering atau 60-100 gram makanan basah dosis tunggal. Cukup jelas bahwa ketika dosis mencapai 8-10 gram makanan kering, berarti pasien mendapat dosis total sebesar 15-20 gram sejak dari awal sampai akhir. Jika provokasi buta ganda sampai 8 gram makanan kering hasilnya negatif maka makanan tersebut boleh dicoba secara terbuka yang dianjurkan dilakukan dengan pengawasan.
Kadang-kadang pada pemberian provokasi makanan secara terbuka terjadi gejala alergi. Hal ini disebabkan karena nilai ambang serangan alergi lebih tinggi daripada provokasi buta, alergenisitas makanan mungkin berbeda karena perbedaan penyajian, dan faktor psikologis berpengaruh pada provokasi terbuka.

Pencatatan
Selama provokasi catat skor gejala yang diamati oleh petugas yang tidak mengetahui apa yang sedang diprovokasi. Pengamatan dilakukan selama 2 jam setelah selesai provokasi terakhir.

Nilai Uji Provokasi Makanan
Pada uji provokasi makanan terbuka, apabila dalam waktu 1 minggu setelah provokasi timbul gejala alergi maka makanan yang diduga menyebabkan gejala alergi tersebut
dicatat sebagai suspek penyebab alergi. Bila pada 3 kali kesempatan lain uji semacam itu menimbulkan gejala alergi maka makanan tersebut dinyatakan definitif sebagai penyebab alergen definitif. Jadi diperlukan 3 kali provokasi pada saat berbeda yang menimbulkan gejala alergi.
Secara akademis DBPCFC merupakan baku emas prosedur uji provokasi makanan. Pada provokasi buta ganda yang positif setelah 2 jam akhir provokasi maka makanan itu dinyatakan sebagai alergen penyebab.

Komplikasi
Komplikasi yang terpenting adalah kemungkinan terjadi reaksi anafilaksis. Orang tua pasien harus diberi keyakinan bahwa jika timbul reaksi anafilaksis maka pengobatan yang tepat dan cepat akan dilakukan. Komplikasi yang lain adalah timbulnya gejala alergi makanan misalnya serangan asma, urtikaria, mual, muntah dan diare.


UJI ELIMINASI DAN PROVOKASI SUSU SAPI

Eliminasi dan provokasi susu sapi
Eliminasi susu sapi diperlukan sebelum melakukan provokasi. Eliminasi susu sapi dan makanan yang mengandung susu sapi dilakukan minimal selama 14 hari sebelum uji provokasi. Pada dermatitis atopik eliminasi dilakukan minimal selama 4 minggu. Tujuan uji provokasi adalah untuk mengkonfirmasi diagnosis dan melihat apakah pada pasien sudah tidak ada intoleransi.
Uji ini dilakukan dengan syarat pasien sudah terbukti sensitif terhadap susu sapi melalui pemeriksaan uji kulit tusuk atau IgE spesifik. Selain itu, tidak boleh terdapat riwayat anafilaksis karena konsumsi susu sapi. Beberapa jenis obat dapat mengganggu penilaian uji provokasi, oleh karena itu obat seperti antihistamin generasi pertama tidak boleh diberikan minimal 3 hari, sedangkan antihistamin generasi kedua minimal 7 hari. Steroid dan bronkodilator harus dihentikan minimal 1 hari.

Metode dan interpretasi uji provokasi
Uji provokasi sebaiknya dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas memadai untuk penanganan anafilaksis. Obat dan fasilitas gawat darurat harus tersedia, seperti adrenalin 1:1000, antihistamin intravena, nebulizer, larutan agonis-β2, dan fasilitas intubasi endotrakea serta trakeostomi.
Sebelum dilakukan uji provokasi, maka dilakukan uji kulit dengan mengusapkan sedikit susu sapi ke kulit pasien dengan kapas/kasa dan diobservasi selama 15 menit untuk melihat timbulnya urtikaria. Jika terjadi urtikaria maka uji provokasi tidak dilakukan dan penghindaran protein susu sapi terus dilakukana. Uji kulit dapat diulang setelah 12 bulan.
Uji provokasi dilakukan dengan cara menaruh 1 tetes susu sapi di lidah pasien dan diobservasi selama 15 menit. Apabila tidak terjadi reaksi, maka dapat diberikan 5 ml susu sapi dan diobservasi lagi selama 15 menit. Jika tidak terjadi reaksi, diberikan 10 ml susu sapi dan diobservasi selama 15 menit. Jika tidak terjadi reaksi lagi, diberikan 30 ml susu sapi dan diobservasi selama 15 menit. Jika sampai tahap ini tidak terjadi reaksi, maka dapat diberikan susu sapi dan makanan bebas protein susu sapi dalam porsi normal pada saat makan, dengan catatan bahwa pasien telah mengkonsumsi minimal 200 ml susu sapi.
Observasi yang dilakukan selama 60 menit pertama terhadap pasien mencari tanda-tanda reaksi simpang antara lain eritema di sekitar mulut, eritema dengan urtika, bersin-bersin, muntah, gelisah dan pucat, mengi atau batuk-batuk, BAB cair, stridor atau pingsan. Setelah itu, pasien diperiksa tiap 30 menit jika bersama orangtuanya, atau tiap 15 menit jika tidak ada orangtua. Durasi observasi tergantung dari reaksi yang timbul (minimal 2 jam setelah provokasi selesai). Apabila timbul gejala, uji provokasi dihentikan. Bila perlu pasien dirawat inap semalam di rumah sakit untuk dimonitor dengan ketat.
Hasil uji provokasi negatif menunjukkan pemberian susu sapi dapat diteruskan di rumah. Bila tidak timbul gejala saat itu, orang tua diberi penjelasan dan catatan harian untuk mengamati dan mencatat timbulnya gejala alergi yang muncul kemudian. Orang tua perlu diberitahu bahwa reaksi simpang masih dapat terjadi dalam beberapa hari. Jika hal itu terjadi maka protein susu sapi harus dihindari lagi. Tindak lanjut dilakukan dalam 4-6 minggu.


UJI KULIT TIPE LAMBAT

Bergantung kepada tujuannya, maka pemeriksaan imunologi selular dapat berupa pemeriksaan status imunologi selular yang umum (nonspesifik) atau pemeriksaan imunologi spesifik. Pemeriksaan status imunologik selular dapat dilakukan secara in vivo maupun secara in vitro. Uji kulit tipe lambat digunakan untuk mengukur reaksi imunologi selular secara in vivo dengan melihat terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat setelah penyuntikan antigen yang sudah dikenal sebelumnya (recall antigen) pada kulit.

Antigen yang digunakan
Uji ini menggunakan antigen spesifik yang disuntikkan secara intradermal. Antigen yang digunakan biasanya yang telah berkontak dengan individu normal, misalnya tetanus, difteria, streptokokus, tuberkulin (OT), Candida albicans, trikofiton, dan proteus. Pada 85% orang dewasa normal reaksi akan positif dengan paling sedikit pada satu dari antigen tersebut. Pada populasi anak persentase ini lebih rendah, walaupun terdapat kenaikan persentase dengan bertambahnya umur. Hanya 1/3 dari anak berumur kurang dari satu tahun yang akan bereaksi dengan kandida, dan akan mencapai persentase seperti orang dewasa pada usia di atas 5 tahun.
Sebuah aplikator sekali pakai yang berisi semua antigen tersebut dengan larutan gliserin sebagai kontrol, misalnya seperti Multi-test CMI buatan Merieux Institute sekarang banyak dipakai. Kit ini mengandung 7 jenis antigen (Candida albicans, toksoid tetanus, toksoid difteri, streptokinase, old tuberculine, trikofiton, dan proteus) serta kontrol gliserin secara bersamaan sekaligus dapat diuji.
Cara kerja
Persiapan
Pastikan bahwa kondisi antigen yang digunakan dalam keadaan layak pakai, perhatikan cara penyimpanan dan tanggal kadaluarsanya Harus diingat bahwa kortikosteroid dan obat imunosupresan dapat menekan reaksi ini sehingga memberi hasil negatif palsu. Setelah itu lakukan anamnesis tentang apakah pernah berkontak sebelumnya dengan antigen yang akan digunakan.

Melakukan uji
Kalau memungkinkan gunakan aplikator seperti di atas sehingga dapat digunakan banyak antigen sekaligus. Hati-hati sewaktu melepas penutup antigen, harus dengan posisi menghadap ke atas sehingga antigen tidak tumpah. Kalau tidak ada aplikator seperti itu dapat digunakan antigen yang mudah didapat (tetanus, tuberculin, dan sebagainya). Dengan menggunakan alat suntik tuberkulin, pastikan bahwa sejumlah 0,1 ml antigen masuk secara intrakutan hingga berbentuk gelembung dan tidak subkutan. Beri tanda dengan lingkaran masing-masing lokasi antigen.

Hasil pemeriksaan
Hasil uji dibaca setelah 24-48 jam. Bila setelah 24 jam hasil tes tetap negatif maka cukup aman untuk memberikan dosis antigen yang lebih kuat. Indurasi yang terjadi harus diraba dengan jari dan ditandai ujungnya, diukur dalam mm dengan diameter melintang (a) dan memanjang (b). Untuk setiap reaksi gunakan formula (a+b):2. Suatu reaksi disebut positif bilamana (a+b):2=2 mm atau lebih.

Efek samping
Dapat terjadi suatu reaksi kemerahan yang persisten selama 3-10 hari tanpa meninggalkan sikatriks. Pada orang yang sangat sensitif dapat timbul vesikel dan ulserasi pada lebih dari satu lokasi antigen.

Interpretasi
Uji kulit ini saja tidak cukup untuk menyimpulkan status imunologik selular seseorang karena untuk dapat disimpulkan hasil uji harus disesuaikan dengan anamnesis dan keadaan klinik. Untuk menilai suatu uji kulit, seperti juga prosedur diagnostik yang lain, sangat tergantung pada pemeriksanya. Bila disimpulkan bahwa kemungkinan terdapat gangguan pada sistem imunitas selular, maka dapat dipertimbangkan pemberian imunoterapi. Tetapi untuk memulai terapi sebaiknya pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan secara in vivo.

DAFTAR PUSTAKA
1. Lessof MH. Skin test. Dalam: Lessof MH, Lee TH, Kemeny DM, penyunting. Allergy, an international textbook. Baltimore: Wiliams & Wilkin, 1987; 281-7.
2. Bernstein IL, Storms WW. Practice parameters for allergy diagnostic testing. Ann Allergy Asthma Immunol. 1995;75((SIII)):543-625[Medline]
3. Demoly P, Michel F-B, Bousquet J. In vivo methods for study of allergy skin tests, techniques, and interpretation. In: Middleton E Jr, Reed CE, Ellis EF, et al, eds. Allergy Principles and Practice. 5th 1998:430-439 Mosby-Year Book St. Louis, Mo
4. Ownby DR. Test for IgE antibody. In: Bierman CW, Pearlman DS, Shapiro GG, et al, eds. Allergy, Asthma, and Immunology from Infancy to Adulthood. 3rd 1996:144-156 WB Saunders Co Philadelphia, Penn
5. Sly RM. Allergic disorders. In: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 15th 1996:610-618 WB Saunders Co Philadelphia, Penn
6. Slavin RG. Diagnostic tests in allergy. Dalam: Fireman P, Slavin RG, penyunting. Atlas of allergies. Philadelphia: JB Lippincott, 1991; 3.1-3.2.
7. Spencer MJ. Immnunologic methods useful in the diagnosis of infectious disease. Dalam: Lawlor GJ, Fischer TJ, penyunting. Manual of allergy and immunology. Diagnosis and therapy. Boston: Little Brown, 1981; 365-91.
8. Cornain S. Pedoman pemeriksaan imunologik selular dan maknanya dalam klinik. Dalam: Tjokronegoro A, Cornain S, penyunting. Imunologi: diagnostik dan terapi. Jakarta: FKUI, 1982; 51-61.
8.