Info Seputar Sukabumi

Tampilkan postingan dengan label TES ALERGI BIORESONANSI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TES ALERGI BIORESONANSI. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 07 Juni 2008




KONTROVERSI PEMERIKSAAN TES BIORESONANSI DALAM DIAGNOSIS ALERGI


Dr Widodo Judarwanto SpA

CHILDREN ALLERGY CLINiC
PICKY EATERS CLINIC (Klinik kesulitan makan)
Jl Taman Bendungan Asahan 5 Bendungan Hilir Jakarta Pusat
telp : (021) 70081995 - 5703646
email : cfc2006
@hotmail.com , htpp://www.alergianak.blogspot.com


  • Pemeriksaan bioresonansi seperti tes vega, Biocom, atau biotensor adalah metoda diagnosis “unorthodox” atau tak lazim dipakai dalam mendiagnosis alergi dan beberapa penyakit. Pemeriksaan ini digunakan tidak berdasarkan dasar ilmiah dan tidak terdapat data ilmiah bersifat penelitian terkontrol yang dapat membuktikan manfaat alat diagnosis ini.
  • Pemeriksaan vega hanya akan menimbulkan penanganan penyakit yang tidak benar dan menimbulkan beban tambahan biaya bagi pasien dan masyarakat. (Journal Med J Aust 1991; 155: 113-114)


TERAPI ALTERNATIF BIORESONANSI, BERMANFAATKAH ?



Dalam beberapa tahun belakangan ini, berbagai terapi alternatif banyak bermunculan di Indonesia. Diantaranya adalah terapi lilin, terapi batu giok, terapi kalung, terapi magnetic dan yang terakhir adalah terapi bioresonansi. Saat ini di berbagai tempat di Indonesia khususnya di Jakarta banyak bermunculan terapi alternatif bioresonansi. Sebagai alat terapi dan diagnosis alternatif, tentunya masih menjadi kontroversi. Meskipun sebagai terapi alternatif, tetapi tetap saja banyak dokter yang menggunakannya. Dokter dan klinisi yang memakai alat tersebut “mengklaim” bahwa alat ini dapat digunakan mencari dan menyembuhkan alergi tanpa obat. Sedangkan penderita alergi yang sudah frustasi dengan berbagai keluhan yang ada dan sudah bosan minum obat jangka panjang pasti akan tertarik untuk mencobanya. Benarkah alat bioresonansi, bermanfaat secara klinis.


Alergi adalah penyakit konis dan berlangsung lama dan akan hilang timbul timbul sangat mengganggu. Alergi adalah kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap bahan makanan, hirupan atau yang lainnya. Sebagai suatu penyakit kronis yang berkepanjangan, membuat para klinisi maupun penderita kadang frustasi. Akibatnya, banyak timbul terapi alternatif untuk mengatasi keluhan yang berkepanjangan tidak membaik. Meskipun ilmu dan tehnologi kedokteran sangat maju, tetapi ternyata tidak membuat penyakit alergi membaik, bahkan sebaliknya kasusnya semakin meningkat saja. Berbagai keluhan tubuh yang sering dikaitkan dengan gejala alergipun masih banyak diperdebatkan. Seperti migraine, kolik, konstipasi, gangguan perilaku dan sebagainya masih diperdebatkan apakah alergi makanan berkaitan dengan gejala tersebut. Tampaknya salah satu penyebab berbagai masalah kontroversi tersebut, sampai saat ini belum ada alat diagnosis yang dapat memastikan penyebab alergi kecuali secara klinis atau eliminasi provokasi. Selain belum jelasnya terungkap misteri alergi, juga didukung oleh tingginya kasus penderita alergi dalam masyarakat. Sehingga peluang bisnis ini dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk menggunakan alat kesehatan komersial.


Bioresonansi
Alat berharga ratusan juta yang digunakan dalam terapi bioresonansi sering disebut sebagai Vega , Biotensor, BICOM (Bio Communication) dan berbagai sebutan lainnya. Alat ini ditemukan oleh Hans Brugemann dari Jerman sekitar tahun 1976, dan dipopulerkan oleh Dr Peter Schumacher sebagai teknik yang ampuh untuk menyembuhkan alergi, pada tahun 1991.
Cara penggunaannyapun tidak terlampau rumit dan cukup sederhana. Pada proses deteksi dan penyembuhan alergi, pasien duduk di kursi atau berbaring di dekat alat ini. Dari alat tersebut menjulur kabel yang dihubungkan ke elektroda berupa bola yang dipegang pasien. Dan di bantalan tempat duduk atau pembaringan pasien, terdapat kabel lain yang terhubung ke mesin tersebut.
Alat elektroresonansi ini bekerja dengan menangkap gelombang energi tubuh, menghasilkan pola gelombang energi yang menyembuhkan. Setelah terapis memasukkan program penyembuhan yang akan dilakukan dan menekan tombol start, maka proses penyembuhan pun berjalan. Setelah selesai, mesin akan mati dengan sendirinya.


Bahkan berbagai pihak mengkalim bahwa alat ini juga bisa digunakan untuk melakukan diagnosa. Ada sesi tes elektroakupunktur untuk mengukur secara fisik kondisi energi pada pusat energi (meridian) dan ditampilkan gambarnya. Dengan begitu, kesimpulan dapat diambil berdasarkan fungsi organ yang terganggu. Dari situ, dengan cepat dapat menemukan pemicu alergi pasien. Bukan sampai disitu ternyata bahwa alat ini juga dikatakan dapat menyembuhkan berbagai penyakit kronis lainnya.


Dalam terapi medis pada umumnya mengunakan dasar ilmu imunopatofisiologi yang dapat dijelaskan dengan pendekatan biomolekular. Sedangkan terapi bioresonansi adalah pengobatan yang menggunakan pendekatan ilmu fisika gelombang atau teori kuantum. Resonansi (getaran) adalah satu fenomena dalam fisika. Resonansi inilah yang dikatakan dapat dipakai untuk mendeteksi dan mengobati alergi. Teori kuantum yang ada itu tampaknya dikaitkan dengan manifestasi peyakit termasuk penyakit yang diakibatkan alergi. Teori yang tidak lazim di bidang kedokteran yang dianut adalah setiap sel dalam tubuh manusia selalu berkomunikasi satu sama lain pada frekuensi tertentu. Jika komunikasi tersebut berjalan harmonis, berarti orang itu berada dalam kondisi sehat. Tapi jika masuk toksin atau benda tertentu yang bisa menyebabkan alergi, maka pola frekuensinya akan terganggu dan menyebabkan terganggunya fungsi organ tubuh. Secara ilmiah teori tersebut sangat jauh menyimpang dari teori dasar mekanisme terjadinya alergi. Perbedaan dasar pemikiran teori non ilmiah inilah yang menjadikan bahwa, terapi bioresonansi dianggap sebagai terapi alternatif.


Dengan menggunakan Bioresonansi, pola frekuensi yang menyebabkan penyakit tersebut dapat diubah menjadi pola frekuensi yang efektif dalam penyembuhan penyakit. Dengan demikian, yang terjadi adalah mengaktifkan dan memperkuat mekanisme penyembuhan diri sendiri dalam tubuh sehingga terjadi penyembuhan.


Terapi medis atau terapi alternatif


Di bidang ilmu kesehatan sering dibedakan antara terapi medis dan terapi alternatif. Terapi medis adalah penatalaksanaan atau pengobatan suatu penyakit atau kelainan yang berdasarkan kaidah ilmu pengetahuan di bidang kedokteran. Penanganan di dalam ilmu kedokteran harus berdasarkan berbagai latar belakang ke ilmuan kedokteran seperti imunopatobiofisiologis atapun secara biomolekular. Dalam penerpannyapun harus berdasarkan penelitian medis berbasis pengalaman klinis.


Secara ilmiah berbagai terapi yang diberikan juga harus berdasarkan pengalaman klinis dengan berbasis pada penelitian ilmiah yang terukur. Dalam kurun waktu terakhir ini pemberian pengobatan di bidang kedokteran sudah beralih ke arah Evidance Base medicine (EBM) atau pengalaman klinis berbasis bukti. Tujuan utama dari EBM adalah membantu proses pengambilan keputusan klinik, baik untuk kepentingan pencegahan, diagnosis, terapetik, maupun rehabilitatif yang didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini yang terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan


Sedangkan terapi alternatif adalah berdasarkan pendekatan pengobatan tradisional turun temurun baik dari mulut kemulut berbagai pengalaman diperoleh dari warisan nenek moyang yang tidak berdasarkan kaidah ilmiah atau bertentangan dengan ilmu kedokteran. Meskipun sebenarnya tidak semua terapi alternatif tidak bermanfaat. Saat ini ada juga terapi alternatif yang mulai disinergikan dengan terapi di bidang ilmu kedokteran seperti terapi akupuntur. Hal seperti inipun harus melalui proses penelitian secara ilmiah yang berlangsung lama, dan memang terbukti secara klinis.


Terapi atau alat diagnosis alternatif meskipun tidak berdasarkan kaidah ilmiah juga banyak dilakukan oleh profesional medis di bidang kedokteran seperti dokter, terapis dan lain sebagainya. Secara aspek legal dan secara etika kedokteran sebenarnya hal tersebut tidak dilazimkan karena akan menyimpang dari kompetensi dan profesionalitas seorang dokter.


Terdapat perbedaan mendasar lainnya untuk mengetahui keberhasilan terapi medis dan terapi alternatif. Di bidang medis alat ukur keberhasilan medis harus berdasarkan penelitian terukur dan sahih secara statistik. Misalnya dalam penggunaan obat asma, harus diketahui tingkat keberhasilan dari 100 pemakai sekitar 80 yang berhasil dengan memperhatikan dengan cermat berbagai faktor yang mempengaruhi pengobatan tersebut.


Sedangkan terapi alternatif, biasanya diukur berdasarkan pengakuan orang perorang dalam menentukan keberhasilannya. Sehingga akurasi dan validitas keberhasilannya tidak bisa diketahui secara pasti. Sering dilihat di televisi dalam acara terapi alternatif oleh seseorang bukan berlatar belakang nonmedis, bahwa pengakuan seorang sembuh karena terapi yang diberikan. Mungkin saja memang penderita tersebut berhasil dengan terapi alternatif tersebut, tetapi tidak diketahui apakah yang tidak berhasil juga lebih banyak lagi. Di bidang medis seorang dokter tidak boleh menyebutkan keberhasilan pengobatan berdasarkan kesaksian keberhasilan seorang pasien tetapi harus berdasarkan penelitian sebuah jurnal kesehatan yang kredibel atau jurnal yang dapat diakses di pubmed secara online.


Sebagai terapi alternatif, bermanfaatkah ?
Dengan semakin pesat perkembangan tehnologi ternyata sangat menunjang perkembangan dalam bidang ilmu kedokteran telah membawa banyak perubahan dalam penatalaksanaan penanganan penyakit. Namun sayangnya, perkembangan tehnologi atau kecanggihan alat tehnologi di bidang kedokteran tersebut belum tentu menggambarkan keberhasilannya. Memang, banyak alat tehnologi canggih yang terbukti secara klinis dapat membantu pengobatan di bidang kedokteran seperti CT scan, MRI, ultrasound 4 dimensi dan sebagainya. Tetapi banyak alat canggih lainnya ternyata tidak terbukti secara klinis berperanan dalam bidang kedokteran.


Mengapa terapi bioresonansi dianggap sebagai terapi alternatif ? Bioresonansi adalah pendekatan terapi berdasarkan ilmu biofisika. Mungkin sampai tahap ini tidak masalah, menjadi masalah ketika digunakan sebagai alat diagnosis alergi apalagi sebagai terapi alergi.
Mekanisme penyakit alergi adalah adanya paparan awal, alergen dikenali oleh sel penyaji antigen untuk selanjutnya mengekspresikan pada sel-T. Sel-T tersensitisasi dan akan merangsang sel-B menghasilkan antibodi dari berbagai subtipe. Alergen yang intak diserap oleh usus dalam jumlah cukup banyak dan mencapai sel-sel pembentuk antibodi di dalam mukosa usus dan organ limfoid usus,yang pada anak atopi cenderung terbentuk IgE lebih banyak. Selanjutnya terjadi sensitisasi sel mast pada saluran cerna, saluran nafas dan kulit. Kombinasi alergen dengan IgE pada sel mast bisa terjadi pada IgE yang telah melekat pada sel mast atau komplek IgE-Alergen terjadi ketika IgE masih belum melekat pada sel mast atau IgE yang telah melekat pada sel mast diaktifasi oleh pasangan non spesifik, akan menimbulkan degranulasi mediator. Sehingga secara klinis, pengukuran petanda alergi hanya dengan menggunakan tes kulit atau IgE spesifik. Meskipun alat diagnosis ini belum memastikan penyebab alergi, karena harus dikonfirmasikan dengan tahapan eliminasi provokasi yang sebagai alat diagnosis baku emas (gold standard). Sedangkan pada pemeriksaan bioresonansi sebagai alat diagnosis tidak mengikuti kaidah imunopatofisiologis seperti tersebut di atas.


Sebagai alat terapipun bioresonansi menyimpang dari kaidah ilmu kedokteran. Terapi alergi yang ideal adalah mengidentifikasi dan menghindari penyebabnya. Sedangkan obat-obatan adalah mengurangi respon inflamasi tubuh yang disebabkan meningkatnya mediator yang ada dalam reaksi alergi. Mekanisme yang terjadi dalam terapi bioresonansi juga menyimpang dari pathogenesis tersebut.


Dalam menilai keberhasilan terapi, biasanya dengan menilai pengalaman medis berbasis bukti. Yang paling mudah adalah mencari bukti penelitian yang diakui oleh komunitas kedokteran adalah jurnal-jurnal yang dimuat dalam Pubmed yang dapat diakses secara online. Sampai saat inipun dalam jurnal yang dimuat dalam pubmed tidak ada satupun penelitian yang mendukung keberhasilan alat diagnosis dan alat terapi bioresonansi. Memang mungkin terdapat beberapa kesaksian bahwa degan penanga alat tersebut keluhan membaik, tetapi kita belum tahu apakah juga banyak penderita yang tidak berhasil. Keluhan penderita yang membaikpun, tampaknya juga dikarenakan penderita harus menghindari makanan tertentu yang dicurigai sebagai penyebab alergi. Yang menjadi maslaah adalah akurasi alat tersebut. Seperti misalnya dikatakan dengan alat tersebut bahwa penderita mengalami alergi nasi. Kalau diagnosis tersebut tidak benar, alangkah malangnya seumur hidupnya penderita dilarang makan nasi.


Berdasarkan berbagai kajian ilmiah tersebut maka berbagai institusi alergi dunia dan internasional tidak merekomendasikan dan menolak dengan keras penggunaan bioresonansi sebagai alat diagnosis dan alat terapi pada penderita alergi. Institusi tersebut adalah ASCIA (The Australasian Society of Clinical Immunology and Allergy), WAO (World Allergy Organization), AAAI (The American Academy of Allergy, Asthma and Immunology) dan berbagai institusi internasional lainnya. Secara faktual hal itu juga dapat dilihat bahwa pengguna alat bioresonansi bukan dokter yang ahli dan berkopeten di bidang alergi, seperti spesialis anak alergi, spesialis penyakit dalam alergi. Tetapi digunakan oleh dokter atau klinisi diluar bidang tersebut seperti sebagian dokter umum, dokter penyakit dalam, dokter kulit dan sebagainya.


Berbahayakah terapi alternatif
Penggunaan terapi alternatif secara klinis masih belum dilakukan penelitian secara menyeluruh tentang manfaat dan efek sampingnya. Sehingga seringkali klinisi tidak bisa mengungkapkan kemungkinan bahaya penggunaan terapi alternatif. Bagaimana dengan terapi alternatif, biresonansi berbahayakah ? Sampai saat inipun masih belum ada penelitian klinis yang dapat membuktikan efek samping dan bahaya alat tersebut. Kalaupun nantinya mungkin pendekatan terapi tersebut tidak menimbulkan efek samping tetapi ternyata membuat penanganan penyakit alergi semakin tidak jelas dan pemperburuk perjalanan penyakit dan timbulnya komplikasi dari penyakit yang tidak terkendali dengan baik.


Hal yang lain yang dikawatirkan adalah penanganan alat terapi seperti ini akan membuat “lost cost therapy” biaya pengobatan terbuang percuma. Seperti dikethui dalam pengadaan alat bioresonansi sangat mahal, sehingga untuk pengembalian investasi alat ini juga dituntut biaya tinggi dalam penggunaannya. Apalagi untuk terapi penyakit kronis biasanya dibutuhkan waktu pengobatan jangka panjang.


Sampai saat ini banyak sekali terapi alternatif yang digunakan oleh berbagai praktisi klinis dalam penanganan alergi. Selain bioresonansi terapi alternatif lainnya yang banyak digunakan adalah terapi pendulum (bandul), cytotoxic testing, iridology, kinesiology, allergy testing, IgG antibody testing, VoiceBio, iriodologi mata, tes rambut, tes alcat, IgE4 dan sebagainya. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut juga banyak dilakukan oleh para klinisi untuk mendiagnosis penderita autism. Bukan hanya di Indonesia, pendekatan terapi alternatif tersebut juga banyak dilakukan di dunia internasional bahkan juga dilakukan oleh banyak dokter di luarnegeri. Sehingga berbagai institusi alergi international dan dunia tidak henti-hentinya selalu mengingatkan masyarakat maupun dokter bahwa semua pemeriksaan alternatif tersebut tidak direkomendasikan dalam mendiagnosis dan menangani penderita alergi.



DAFTAR PUSTAKA

  1. Bernstein, I. L., Storms, W. W. (eds). The American Academy of Allergy, Asthma and Immunology and the American College of Allergy, Asthma and Immunology. Practice parameters for allergy diagnostic testing. Joint Task Force on Practice Parameters for the Diagnosis and Treatment of Asthma. Ann Allergy Asthma Immunol 1995; 75 (Pt 2): 543-625.
  2. Stewart, T. C. Vega testing in the diagnosis of allergic conditions. Med J Aust 1991; 155: 423.
  3. Katelaris, C. H., J. M. Weiner, et al. Vega testing in the diagnosis of allergic conditions. The Australian College of Allergy. Med J Aust 1991; 155: 113-4. (http://www.mja.com.au/public/guides/vega/vega.html),
  4. Voll R. The phenomenon of medicine testing in electroacupuncture according to Voll. Am J Acupuncture 1980; 8: 87.
  5. George T Lewith, Julian N Kenyon, Jackie Broomfield, Philip Prescott, Jonathan Goddard, and Stephen T Holgate. Is electrodermal testing as effective as skin prick tests for diagnosing allergies? A double blind, randomised block design study. BMJ 2001; 322: 131-134
  6. Semizzi M, Senna G, Crivellaro M, Rapacioli G, Passalacqua G, Canonica WG, Bellavite P. A double-blind, placebo-controlled study on the diagnostic accuracy of an electrodermal test in allergic subjects. Clin Exp Allergy2002; 32: 928-32.
    http://www.allergy.org.au/content/view/218/77/
  7. Kenyon JN. 21st century medicine: a layman=s guide to the medicine of the future. Wellingborough, Northants: Thorsons, 1986.
  8. Fehrenbach J, Noll H, Nolte HG, et al. Short manual of the Vegatest-method. Schiltach: BER, 1986.
  9. Krop J, Swiertzek J, Wood A. Comparison of ecological testing with the Vega test method in identifying sensitivities to chemicals, foods and inhalants. Am J Acupuncture 1985; 13 253-259.
  10. Kenyon J. EAV diagnosis. J Gen Pract 1986: 3; 2.
  11. Sullivan SG, Egglestone DW, Martinoff JT, Kroening RJ. Evoked electrical conductivity on the lung acupuncture points in healthy individuals and confirmed lung cancer patients. Am J Acupuncture 1985; 13: 261-266 .
  12. C H Katelaris, J M Weiner, R J Heddle, M S Stuckey and K W Yan for POSITION STATEMENT Vega testing in the diagnosis of allergic conditions The Australian College of Allerg
  13. Matsumoto T, Hayes MF. Acupuncture, electric phenomenon of the skin, and postvagotomy gastrointestinal atony. Am J Surg 1973; 125: 176-180.
  14. David TJ. Unorthodox allergy procedures. Arch Dis Child 1987; 62: 1060-1062.
  15. Anonymous. Medical Practitioners Disciplinary Committee: professional misconduct findings against Dr D W Steeper [Medico-legal]. N Z Med J 1990; 103: 194-195.