Info Seputar Sukabumi

Tampilkan postingan dengan label ALERGI DAN GANGGUAN PERTUMBUHAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ALERGI DAN GANGGUAN PERTUMBUHAN. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 07 Juni 2008


”ALERGI MAKANAN DAN GANGGUAN PERTUMBUHAN”


Dr Widodo Judarwanto SpA

CHILDREN ALLERGY CLINiC
PICKY EATERS CLINIC (Klinik kesulitan makan)
Jl Taman Bendungan Asahan 5 Bendungan Hilir Jakarta Pusat
telp : (021) 70081995 - 5703646
email :
wido25@hotmail.com , htpp://www.alergianak.blogspot.com


PENDAHULUAN
  • Beberapa fakta ilmiah menunjukkan bahwa angka kejadian alergi terus meningkat tajam beberapa tahun terakhir. Tampaknya alergi merupakan kasus yang cukup mendominasi kunjungan penderita di klinik rawat jalan Pelayanan Kesehatan Anak. Menurut survey rumah tangga dari beberapa negara menunjukkan penyakit alergi adalah adalah satu dari tiga penyebab yang paling sering kenapa pasien berobat ke dokter keluarga. Angka kejadian alergi meningkat tajam dalam 20 tahun terakhir. Setiap saat 30% orang berkembang menjadi alergi. Anak usia sekolah lebih 40% mempunyai 1 gejala alergi, bahkan 20% mempunyai asma.
  • Alergi pada anak dapat menyerang semua organ tanpa terkecuali dengan berbagai bahaya dan komplikasi yang mungkin bisa terjadi. Berbagai sistem tubuh ternyata dapat terpengaruh dan terganggu. Penderita alergi dan asma ternyata sering dikaitkan dengan gangguan gizi ganda pada anak. Gizi ganda artinya dapat berkaitan dengan obesitas (kegemukan) atau bahkan sebaliknya terjadi berat badan kurang. Gejala alergi pada orang dewasa juga bisa mengenai semua organ tubuh dan sistem fungsi tubuh. Menurut Richard Mackarness, 1992 berpendapat berat badan yang berlebihan atau sebaliknya berat badan kurang merupakan salah satu dari lima gejala utama alergi yang diungkapkan.

    BERAT BADAN KURANG DAN SULIT MAKAN
  • Penelitian yang dilakukan oleh Erika von Mutius dkk dari University Children's Hospital, Munich, Germany menyebutkan bahwa BMI tampaknya merupakan factor resiko independent pada terjadinya asma. Sebaliknya didapatkan penelitian pada penderita asma terdapat resiko gangguan pertumbuhan tinggi badan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Baum mengungkapkan penderita asma sering terjadi peningkatan platelet-activating factor (PAF) yang ternyata dapat menghambat produksi PGE2 dalam osteobast. Prostaglandin E2 (PGE2) adalah salah satu faktor lokal yang berperanan penting untuk pertumbuhan tulang5. Ellul dalam penelitiannya mengungkapkan keterkaitan asma dan penyakit celiac pada anak. Secara bermakna didapatkan kenaikkan resiko terjadinya asma pada penderita celiac. Celiac adalah gangguan saluran yang tidak dapat mencerna kandungan gluten dan sejenisnya. Manifestasi klinis yang timbul adalah gangguan saluran cerna, dermatitis herpertiformis dan gagal tumbuh.
  • Alergi makanan adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan sistim tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap makanan. Fungsi organ tubuh yang sering terlibat dalam proses terjadinya alergi makanan adalah saluran cerna. Gejala gangguan saluran cerna yang berkaitan dengan alergi makanan adalah muntah, diare, konstipasi, kolik, nyeri perut, sariawan dan sebagainya.
  • Penelitian yang dilakukan Judarwanto Widodo, didapatkan gangguan kenaikkan berat badan pada penderita alergi pada usia setelah 4-6 bulan. Hal ini terjadi karena sudah mulai diperkenalkan makanan tambahan baru. Bila makanan tambahan tersebut terdapat reaksi simpang pada tumbuh akan mengganggu saluran cerna dan berakibat sulit makan dan gangguan kenaikkan berat badan

    IMATURITAS SALURAN CERNA
  • Secara mekanik integritas mukosa usus dan peristaltik merupakan pelindung masuknya alergi ke dalam tubuh. Secara kimiawi asam lambung dan enzim pencernaan menyebabkan rusaknya bahan penyebab alergi (denaturasi allergen). Secara imunologik sIgA pada permukaan mukosa dan limfosit pada lamina propia dapat menangkal allergen (penyebab alergi) masuk ke dalam tubuh. Pada usia anak saluran cerna masih imatur (belum matang). Sehingga sistim pertahanan tubuh tersebut masih lemah dan gagal berfungsi sehingga memudahkan alergen masuk ke dalam tubuh. Gangguan saluran cerna yang berkaitan dengan alergi makanan tersebut sering diistilahkan sebagai gastroenteropati atopi.
  • Saluran cerna adalah target awal dan utama pada proses terjadinya alergi makanan. Karena penyebab utama adalah imaturitas (keitidak matangan) saluran cerna maka gangguan pencernaan yang disebabkan karena alergi paling sering ditemukan pada anak usia di bawah 2 tahun, yang paling sensitif di bawah 3 bulan. Dengan pertambahan usia secara bertahap imaturitas saluran cerna akan semakin membaik hingga pada usia 5 atau 7 tahun. Hal inilah yang menjelaskan kenapa alergi makanan akan berkurang dengan pertambahan usia terutama di atas 5 atau 7 tahun.

MANIFESTASI KLINIS SALURAN CERNA
  • Pada bayi baru lahir hingga terutama hingga usia 3 bulan biasanya ditandai hiccups (cegukan), sering “ngeden”, meteorismus (kembung), muntah, sering flatus (buang angin), diare, sulit BAB (Buang Air Besar) atau kolik. Gejala ringan biasanya ditandai bayi sering hiccups atau cegukan yang sering dan agak lama. Gejala ini disertai oleh gerakan seperti mengejan (”ngeden”) pada perut. Biasanya anak tampak sering ”mulet” dengan gerakan tangan sering bergerak lurus ke atas dengan disertai bunyi seperti mengejan di mulut dan perut mengeras. Kadang juga disertai keluhan ”ngeden” bila sedang buang air kecil. Bila buang air besar tampak sulit (ngeden) padahal bentuk feses lembek atau bahkan cair.
  • Bila keluhan dalam derajat yang tidak ringan sering timbul kolik. Gangguan kolik biasanya ditandai bayi sering rewel seperti kesakitan atau menangis terus menerus tanpa sebab. . Gangguan ini biasanya lebih sering terjadi pada malam. Gangguan inilah yang mengakibatkan bayi sering tidak bisa tidur malam hari dan siang hari jam tidurnya sangat panjang. Kolik diduga karena perut bayi mengalami nyeri dan sakit. Penelitian yang dilakukan penulis, bayi yang mempunyai gejala kolik saat usia 2 hingga 7 tahun beresiko terjadi keluhan sakit perut yang berulang. Hal lain didapatkan penderita kolik beresiko terjadi gangguan nyeri perut saat timbul demam.
  • Dalam buang air besarpun sering terjadi gangguan, biasanya sulit BAB atau malahan diare. Dikatakan sulit BAB, selain ”ngeden” biasanya bayi tidak bisa BAB setiap hari. Sebaliknya bisa juga terjadi BAB yang sering, pada bayi usia kurang 1 bulan frekuensinya lebih 4 kali perhari atau usia di atas 1 bulan lebih dari 2 kali perhari. Bentuk feses biasanya cair atau bahkan keras, berwarna hijau atau gelap dan berbau tajam. Pada anak yang lebih besar tampilan kotoran feses yang terjadi adalah bulat-bulat seperti kotoran kambing.
  • Keluhan lain gangguan saluran cerna yang sering terjadi adalah muntah. Keluhan ini paling berat terjadi saat usia di bawah 3 bulan. Pada bayi tampak sering ”gumoh” atau susu yang diminum meleleh ke luar mulut. Dalam keadaan yang lebih berat timbul keluhan muntah seperti gerakan menyemprot air dari dalam mulut kadang keluar lewat hidung. Secara bertahap seiring dengan kematangan saluran cerna maka gangguan ini juga secara bertahap akan berkurang. Pada anak yang lebih besar gangguan muntah hanya timbul saat melakukan aktifitas seperti berlari, menangis, naik kendaraan atau makan yang terlalu banyak gejala muntah tersebut akan timbul. Penderita inilah yang sering dianggap sebagai orang yang gampang ”mabuk kendaraan”. Gejala lain yang lebih ringan biasanya gejala mual, biasanya timbul saat minum susu atau makan.
  • Pada lidah sering ditemukan berwarna putih kotor, perubahan itu terjadi karena lidah merupakan bagian dari dari saluran cerna. Bila lidah berubah warna harus diwaspadai sebagai tanda gangguan pada pencernaan. Gangguan buang air besar dapat berupa sulit buang air besar (tidak setiap hari) atau malahan sering buang air besar sebanyak 3 kali atau lebih pada usia di atas 2 minggu .
  • Pada anak yang lebih besar dapat berupa nyeri perut berulang, sering muntah, buang air besar (>2 kali perhari), gangguan buang air besar (kotoran keras, berak, tidak setiap hari, berak di celana, berak berwarna hitam atau hijau, berak ngeden), kembung, sulit berak, sering flatus (buang angin), sariawan, mulut berbau dan lidah sering kotor berbentuk pulau atau sariawan (geographic tongue).

GEJALA YANG MENYERTAI
Gangguan pada saluran cerna biasanya sering disertai oleh gangguan kulit (dermatitis atopi) dan gangguan pada hidung. Tanda dan gejala alergi pada kulit biasanya sudah dapat di deteksi sejak lahir. Bayi yang baru lahir apabila sejak dalam kandungan sudah terpapar oleh pencetus alergi tampak terdapat bintil dan bercak kemerahan dan kusam pada kulit dahi dan wajah, kadang disertai timbulnya beberapa bintil kecil warna putih di hidung. Pada bayi sering timbul dermatitis atopi di pipi, daerah popok (dermatitis diapers) dan telinga, kadang dijumpai dermatitis seboroikum atau timbul kerak di kulit kepala. Sering juga timbul bintik kemerahan di sekitar mulut. Kadang timbul furunkel (bisul) di kepala dan badan. Mata dan telinga sering gatal dan digosok-gosok. Karena sering timbul gangguan kulit di sekitar leher dan kepala, seringkali disertai pembesaran kelenjar kepala bagian belakang dekat telinga.
Pada anak yang lebih besar sering urticaria (gatal), miliaria (biang keringat), bengkak di bibir, vaskulitis atau pembuluh darah yang pecah) dengan gambaran lebam biru kehitaman seperti bekas terbentur, bercak ke hitam seperti bekas digigit nyamuk.
Perbedaan lokasi alergi kulit sesuai dengan usia tertentu. Pada bayi sering lokasi alergi sekitar wajah dan daerah popok, pada usia anak lokasi tersebut biasanya berpindah pada darerah lengan dan tungkai. Sedangkan pada anak yang lebih besar atau usia dewasa lokasi alergi kulit biasanya pada pelipatan dalam antara lengan atas dan bawah atau pelipatan dalam antara tungkai atas dan bawah
Pada anak di bawah 2 tahun, tanda yang paling sensitif untuk mengetahui bahwa gangguan saluran cerna itu terjadi adalah adanya gangguan tidur malam. Artinya bila gangguan tidur malam itu sering terjadi disertai gangguan saluran cerna maka harus diwaspadai adanya makanan alergi yang masih terkonsumsi.
Mulut adalah termasuk salah satu bagian dari sistim saluran cerna. Bila saluran cerna terganggu karena alergi makanan biasanya tampak juga gangguan pada organ tubuh di daerah mulut di antaranya lidah, gigi dan bagian di rongga mulut lainnya.
· Pada bayi lidah sering tampak kotor berwarna putih (like moniliasis symptoms) , gejala ini mirip gangguan jamur pada lidah atau moniliasis sejenis jamur pada mulut. Bedanya pada alergi warna putih hanya tipis dan tidak terlalu tebal, namun pada moniliasis tampak lebih tebal. Bila gangguan tersebut karena jamur biasanya dengan obat tetes mulut jamur akan cepat membaik, namun bila karena alergi biasanya diberi obat jamur tetap tidak akan membaik dan tetap sering timbul. Bila karena alergi sebaiknya tidak perlu diberi obat jamur, namun cukup dibersihkan dengan kasa basah.
· Pada anak yang lebih besar gangguan alergi bisa menimbulkan sariawan atau luka (aphtous ulcer) pada lidah dan mulut yang sering berulang. Biasanya juga disertai lidah kotor mirip gambaran pulau-pulau atau geographic tounge).
· Gangguan lain adalah timbulnya nyeri gigi atau gusi yang bukan di sebabkan karena infeksi atau gigi berlubang. Gangguan ini biasanya sering dianggap sebagai impacted tooth (gigi yang tumbuhnya miring).


DIAGNOSIS
  • Diagnosis alergi makanan dibuat berdasarkan diagnosis klinis, yaitu anamnesa (mengetahui riwayat penyakit penderita) dan pemeriksaan yang cermat tentang riwayat keluarga, riwayat pemberian makanan, tanda dan gejala alergi makanan sejak bayi dan dengan eliminasi dan provokasi.
  • Untuk memastikan makanan penyebab alergi harus menggunakan Provokasi makanan secara buta (Double Blind Placebo Control Food Chalenge = DBPCFC). DBPCFC adalah gold standard atau baku emas untuk mencari penyebab secara pasti alergi makanan. Cara DBPCFC tersebut sangat rumit dan membutuhkan waktu, tidak praktis dan biaya yang tidak sedikit. Beberapa pusat layanan alergi anak melakukan modifikasi terhadap cara itu. Children Allergy Center Rumah Sakit Bunda Jakarta melakukan modifikasi dengan cara yang lebih sederhana, murah dan cukup efektif. Modifikasi DBPCFC tersebut dengan melakukan “Eliminasi Provokasi Makanan Terbuka Sederhana”.


PENANGANAN
  • Penanganan terbaik pada penderita alergi makanan dengan gangguan saluran cerna adalah adalah dengan menghindari makanan penyebabnya. Pemberian obat-obat anti alergi dan obat untuk saluran cerna dalam jangka panjang adalah bukti kegagalan dalam mengidentifikasi makanan penyebab alergi.
  • Mengenali secara cermat gejala alergi dan mengidentifikasi secara tepat penyebabnya, maka gejala alergi dan gangguan perilaku yang menyertai dapat dihindari. Deteksi gejala alergi dan gangguan tidur pada anak harus dilakukan sejak dini. Sehingga pengaruh alergi makanan terhadap gangguan tidur atau gangguan perilaku lainnya dapat dicegah atau diminimalkan.

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Larsen GL: Asthma in children. N Engl J Med 1992 Jun 4; 326(23): 1540-5.
    2. Castro-Rodriguez JA, Holberg CJ, Wright AL: A clinical index to define risk of asthma in young children with recurrent wheezing. Am J Respir Crit Care Med 2000 Oct; 162(4 Pt 1): 1403-6.
    3.
    Colver AF, Nevantaus H, Macdougall CF, Cant AJ. Severe food-allergic reactions in children across the UK and Ireland, 1998-2000. Acta Paediatr., 2005 Jun;94(6):689-95
    4. Ellul P, Vassallo M, Montefort S. Association of asthma and allergic rhinitis with celiac disease. Indian J Gastroenterol [serial online] 2005;24:270-271.
    5. W. F. Baum1, U. Schneyer2, A. M. Lantzsch2, E. Klöditz1. Delay of growth and development in children with bronchial asthma, atopic dermatitis and allergic rhinitis.Exp Clin Endocrinol Diabetes 2002; 110: 53-59.
    6. Michael Evans, Mari Palta, Mona Sadek, Marie R. Weinstein, Mary Ellen Peters. Associations between Family History of Asthma, Bronchopulmonary Dysplasia, and Childhood Asthma in Very Low Birth Weight Children. American Journal of Epidemiology Vol. 148, No. 5: 460-466.
    7. Judarwanto W. Overdiagnosis tuberkulosis of nonspesificic respiratory distress in children. Presented in World Lung Congress, Paris Frances 2006.
    8. Croen et al., Allergies or asthma during pregnancy may increase the risk of giving birth to a child who develops autism. Archives of Pediatrics and Adolescent Medicine, February, 2005; Vol. 159: pp. 151-157
    9.
    Yamada T, Murayama T, Taguchi H.. A case of interstitial cystitis that developed alternately with bronchial asthma. Hinyokika Kiyo. 1987 Jan;33(1):85-9..
    10.
    Biederman J, Milberger S, Faraone SV, Guite J, Warburton R.Associations between childhood asthma and ADHD: issues of psychiatric comorbidity and familiality. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry. 1994 Jul-Aug;33(6):842-8.
    11. Kitaw Demissie, Stephen W. Marcella, Mary B. Breckenridge, George G. Rhoads. Maternal Asthma and Transient Tachypnea of the Newborn. Pediatrics 102,1, 1998, 84-90.
    12. Peter Stutchfield, Rhiannon Whitaker. Ian Russell. Antenatal betamethasone and incidence of neonatal respiratory distress after elective caesarean section: pragmatic randomised trial. BMJ 2005;331:662
    13. Harding SM, Richter JE. The role of gastroesophageal reflux in chronic cough and asthma. Chest, 1997; 111: 1389-1402
    14. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry. 1994 Jul-Aug;33(6):842-8. Associations between childhood asthma and ADHD.
    15. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry. 1996 Aug;35(8):1042-9. Psychiatric family history in adolescents with severe asthma
    16.
    Silva PA, Sears MR, Jones DT, Holdaway MD, Hewitt CJ, Flannery EM, Williams S. Some family social background, developmental, and behavioural characteristics of nine year old children with asthma. N Z Med J 1987; 100:318-20..
    17. Woller W, Jung K, Alberti L, Worth H, Weske G, Kraut D. Anxiety and illness behavior in bronchial asthma. Pneumologie,1990,44 Suppl 1, 114-5.
    18. Woller W, Kruse J, Schmitz N, Richter B Determinants of high risk illness behavior in patients with bronchial asthma. Psychother Psychosom Med Psychol Mar 1998 ,48, 3-4, 101-7.
    19. Ducolone A, Vandevenne A, Jouin H, Grob JC, Coumaros D, Meyer C, Burghard G, Methlin G, Hollender L. Gastroesophageal reflux in patients with asthma and chronic bronchitis. Am Rev Respir Dis 1987; 135: 327-332
    20. Costa M, Brookes SJ. The enteric nervous system. Am J Gastroenterol 1994;89:S29-137.
    21. William H., Md Philpott, Dwight K., Kalita, Dwight K. Kalita, Linus Pauling, Linus. Pauling, William H. Philpott. Brain Allergies: The Psychonutrient and Magnetic Connections.
    22. Allergy induced Behaviour Problems in chlidren . htpp://www.allergies/wkm/behaviour.
    23. Brain allergic in Children.htpp://www.allergycenter/UCK/allergy.
    24. Jonathan M. Feldman et all. Psychiatric Disorders and Asthma Outcomes Among High-Risk Inner-City Patients. Psychosomatic Medicine, 2005, 67:989-996,.
    25. Judarwanto W. Dietery Intervention as Therapy for behaviour problem in Children with Gastrointestinal Allergy. Presented at World Congress Pediatric Gastroenterology Hepatology Nutrition, Paris, Juli 2004.
    26. Judarwanto W.. “Dietery Intervention as a therapy for Headache in Children with Gastrointestinal Allergy”; pada “8th Asian & Oceanian Congress of Child Neurology, Newdelhi India”, 7 – 10 Oktober, 2004.
    27. Judarwanto W. “Dietery Intervention as a therapy for Sleep Difficulty in Children with Gastrointestinal Allergy”; pada “24TH International Congress of Pediatric Cancun Mexico”, 15-20 Agustus,2004.
    28. Stores G, Ellis AJ, Wiggs L, Crawford C, Thomson A Sleep and psychological disturbance in nocturnal asthma. Arch Dis Child 1998; 78:413-9.
    29. Strel'bitskaia RF, Bakulin MP, Kruglov BV. Bioelectric activity of cerebral cortex in children with asthma.Pediatriia 1975 Oct;(10):40-3.
    30. Siniatchkin M, et all. Migraine and asthma in childhood: evidence for specific asymmetric parent-child interactions in migraine and asthma families. Cephalalgia 2003; 23:790-802.
    31. Ray C, Wunderlich, Susan PPrwscott. Allergy, Brains, and Children Coping. London.2003
    32. Reichenberg K, Broberg AG. Emotional and behavioural problems in Swedish 7- to 9-year olds with asthma. Chron Respir Dis 2004; 1:183-9.