Info Seputar Sukabumi

Tampilkan postingan dengan label TERAPI INHALASI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TERAPI INHALASI. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 07 Juni 2008




TERAPI HIRUPAN UNTUK ASMA DAN BATUK PADA ANAK

Dr Widodo Judarwanto SpA

CHILDREN ALLERGY CLINIC
PICKY EATERS CLINIC (KLINIK KESULITAN MAKAN)
Jl Taman Bendungan Asahan 5 Bendungan Hilir Jakarta Pusat
telp : (021) 70081995 – 70081995
email :
wido25@hotmail.com , http://alergianak.blogspot.com




ILUSTRASI KASUS
· Seorang ibu kebingugan, saat anaknya batuk keras dan menggoggong seperti anjing tetapi hanya diberi obat minum dari dokter. Sebagian temannya mengatakan bahwa sebaiknya mendapatkan terapi uap saja sehingga capat sembuh seperti pengalaman anaknya sebelumnya. Saat berobat ke dokter lainnya anaknya disaarankan untuk terapi inhalasi selama 10 hari berturut-turut.
· Benarkah semua batuk harus mendapatkan terapi inhalasi ? Kapan indikasi terapi inhalasi diberikan ? Bila harus diberi berapa lama terapi tersebut harus diberikan ?

BACK GROUND
· Pada awalnya terapi steroid hirupan atau inhalasi diberikan untuk penyakit asma. Terapi ini dirancang sebagai preparat alternatif untuk menghindari efek sistemik yang terjadi pada pemberian steroid oral dan parenteral. Setelah akhirnya diketahui bahwa proses inflamasi merupakan dasar patogenesa asma yang utama , maka steroid inhalasi direkomendasikan untuk diberikan sedini mungkin pada asma persisten untuk mencegah terjadinya “airway remodelling“.
· Preparat steroid inhalasi dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki efek anti inflamasi topikal yang maksimal dan efek sistemik seminimal mungkin. Termasuk dalam golongan obat inhalasi steroid antara lain Beclometasone Dipropionate (BDP), Budesonide (BUD), Triamcinolone Acetonite (TA), Flunisonide, Fluticasone Dipropionate (FDP).
· Konsensus Nasional tahun 2000 menggunakan batasan bahwa asma adalah mengi bertulang dan / atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut ; timbul secara episodik, cenderung malam / dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktifitas fisik, serta adanya riwayat asma atau atopi pada pasien / keluarganya.
· Menurut GINA (Global Initiative For Asthma) 2002, batasan asma menggambarkan konsep inflamasi sebagai dasar mekanismenya. Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel eosinofil dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan batuk, terutama pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas namun bervariasi, biasanya bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan
· Sebenarnya terapi inhalasi adalah terapi untuk penderita asma. Meskipun beberapa penyakit infeksi pada saluran napas juga akan berespon baik terhadap terapi ini. Biasanya penyakit infeksi saluran napas yang menyerupai menyerupai asma bisa diberikan terapi ini. Tetapi tidak semua batuk berespon diberikan terapi ini, meskipun batuk itu sangat keras.


MEKANISME TERJADINYA PENYAKIT ASMA

· Ada dua faktor utama berperan dalam timbulnya serangan asma. Pertama faktor genetik dan yang kedua faktor lingkungan. Faktor lingkungan termasuk: alergen, polusi (indoor polutants maupun outdoor polutans) dan infeksi (virus, bakteri). Interaksi kedua faktor tersebut akan mengakibatkan proses inflamasi, berupa terbentuknya mediator-mediator inflamasi termasuk sitokin. Semuanya akan mengakibatkan terjadinya perubahan struktur dan perubahan fungsi saluran nafas (kerusakan epitel saluran nafas, hipersekresi, kongesti / pembuluh darah, edema, bronkokonstriksi, “airway remodelling”) yang akan memberikan gejala-gejala klinis asma.
· Reaksi bronkial terhadap alergen menunjukkan reaksi asma segera (immediate phase response) dan reaksi asma fase lanjut (late-phase response). Apabila ada suatu rangsangan atau paparan alergen pada permukaan mukosa saluran nafas, “primary effector cells” (pro inflammatory cells) yang terdapat pada saluran nafas seperti : sel mas, makrofag dan sel epitel akan mengeluarkan mediator inflamasi (termasuk sitokin) yang merangsang terjadinya proses inflamasi pada saluran nafas.
· Reaksi asma segera (RAS) berupa konstriksi bronkus, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, edema dan migrasi sel. Ternyata, disamping itu mediator inflamasi tersebut juga akan menarik dan mengaktifkan “secondary effector cells” (sel inflamasi yang berasal dari sirkulasi seperti eosinofil, netrofil, makrofag dan limfosit) dan sel-sel inipun akan menghasilkan mediator inflamasi yang akan memperberat inflamasi yang sudah terjadi sebelumnya. Pelepasan mediator inflamasi akibat infiltrasi sel-sel tersebut akan menimbulkan peningkatan kepekaan bronkus terhadap rangsangan (“bronchial hyperreactivity”). Reaksi asma fase lanjut (RAL) terjadi dalam waktu dua sampai empat jam setelah RAS. Fase lanjut ini mencapai puncaknya setelah 24 jam dan menurun secara bertahap. Pada reaksi asma segera (RAS) tidak terjadi hipereaktivitas bronkus. Pada reaksi asma fase lanjut (RAL), sel eosinofil dan netrofil berinteraksi dengan mediator lain menyebabkan kerusakan dan deskuanasi sel epitel bronkus dengan cara meningkatkan fragilitas epitel dan melemahkan daya lekat sel epitel pada sel basal. Mekanisme migrasi sel radang ke saluran nafas sangat kompleks, mengikutsertakan “adhesion molecule substance” (ICAM-1,2,3, intergrin, selectin) serta peran limfosit dan lain-lain sel yang memproduksi limfokin dan sitokin yang berperan penting terjadinya inflamasi akut maupun kronik.

PENATALAKSANAAN ASMA

· Tujuan tatalaksana asma secara umum adalah untuk menjamin tercapainya proses tumbuh kembang secara optimal. Penatalaksanaan asma secara global yang dianjurkan oleh WHO, meliputi pencegahan dan kontrol lingkungan hidup, terapi farmakologi, pemakaian tes obyektif faal paru untuk menilai dan monitor perjalanan asma, edukasi asma pada penderita.
· Pengobatan asma didasarkan keadaan penderita asma, artinya saat eksaserbasi atau saat di luar serangan. Pada saat serangan, asma dapat digolongkan dalam keadaan asma ringan, asma sedang dan asma berat. Diluar serangan pembagian asma menjadi 3 yaitu asma episodik jarang, asma episodik sering, asma persisten (asma berat dan asma sangat berat).(6) Pembagian derajat penyakit asma pada anak dapat dilihat pada tabel 1.

Pembagian derajat penyakit asma pada anak. (
Parameter klinis, kebutuhan obat, dan faal paru
Asma episodik jarang (Asma ringan)
Asma episodik sering (Asma sedang)
Asma persitan (Asma berat)
1. Frekuensi serangan
<1x>1x / bulan
Sering
2. Lama serangan
<>80%
PEF/FEV1 60-80%
PEF/FEV1 <60%>15%
Variabilitas >30%
Variabilitas >50%


· Obat asma dapat dibagi 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (“Reliever”) dan obat pengendali (“Controller”). Obat pereda digunakan pada saat eksasertasi atau saat gejala asma sedang timbul dan apabila serangan sudah teratasi maka obat ini dihentikan. Termasuk obat pereda asma adalah: inhalasi agonis b2 aksi cepat (terbutalin, salbutamal, orsiprenalin, fenoterol), steroid sistemik (prednison, prednisolon, metil prednisolon), inhalasi anti kolinergik (ipratropium bromid, oksitropium bromid), xantinergik aksi cepat (teofilin), agonis b2 aksi cepat oral (terbutalin, salbutamol, orsiprenalin, heksoprenalin, trimetokuinol).
· Obat pengendali asma digunakan untuk pencegahan, untuk mengatasi masalah inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus dalam jangka waktu relatif lama, tergantung derajat penyakit asma dan respon terhadap pengobatan. Termasuk obat ini adalah : inhalasi anti inflamasi non steroid (kromoglikat, nedokromil), inhalasi steroid (beklometason, budesonid, triamsionolon, flunisonid dan flutikason dipropionat), inhalasi atau oral agonis beta 2 aksi lambat( prokaterol, bambuterol, salmeterol, klenbuterol), golongan obat oral lepas lambat (terbutalin, salbutamol, teofilin), antihistamin (ketotifen), anti leukotrin (zafirlukas).

· Tatalaksana asma anak jangka panjang masih mengikuti hasil konsensus Nasional tahun 2000. Steroid inhalasi biasanya efektif pada dosis rendah. Pemberian Beklometason dan Budesonid dosis 200 ug/hari belum menunjukkan efek samping jangka panjang. Pada anak, dosis yang masih dianggap aman adalah 400 ug /hari. Steroid inhalasi sebaiknya diberikan lebih dari 6 minggu walaupun efek klinisnya sudah terlihat, karena apabila langsung dihentikan maka hiperreaktivitas bronkus akan timbul seperti keadaan sebelum terapi dalam kurun waktu seminggu sesudah obat dihentikan. Dalam alur tatalaksana asma tampak bahwa apabila tatalaksana suatu derajat asma sudah adekuat namun belum menunjukkan respon dalam 6 - 8 minggu, maka derajatnya berpindah ke derajat yang lebih berat dan sebaliknya. Jika dengan steroid inhalasi dosis 400 – 600 ug/hari asma belum terkendali, perlu dipertimbangkan pemberian beta agonis kerja lambat, beta agonis lepas terkendali,teofilin lepas lambat atau antileukotrin. Jika asma masih belum terkendali juga, mungkin perlu diberi steroid oral.

TERAPI INHALASI

· Pemberian obat inhalasi pada anak harus disesuaikan dengan umur. Lebih dari 50% anak dengan asma tidak dapat memakai alat hirupan biasa (“metered dose inhaler”).Tabel berikut memperlihatkan anjuran pemakaian alat inhalasi disesuaikan dengan usianya.
· Alat inhalasi akan berfungsi baik apabila obat yang dikeluarkan cukup, droplet yang disalurkan berukuran kecil dan waktu nebulasi pendek. Droplet berukuran lebih besar dari 5 um akan dideposit di orofaring, ukuran kurang dari 5 um akan sampai pada saluran napas kecil dan alveoli.

Jenis alat inhalasi disesuaikan dengan umur(
Umur
Alat Inhalasi
<> 8 tahun
Nebuliser,
MDI
Alat hirupan bubuk (DPI)
Autohaler


Dosis berbagai Steroid Inhalasi menurut GINA 2002(
Adults



Drug
Low dose
Medium dose
High dose
Beclomethasone dipropionate
200-500 μg
500-1,000 μg
>1,000 μg
Budesonide
200-400 μg
400-800 μg
>800 μg
Flunisolide
500-1,000 μg
1,000-2,000 μg
>2,000 μg
Fluticasone
100-250 μg
250-500 μg
>500 μg
Triamcinolone acetonide
400-1,000 μg
1,000-2,000 μg
>2,000 μg

Children



Drug
Low dose
Medium dose
High dose
Beclomethasone dipropionate
100-400 μg
400-800 μg
>800 μg
Budesonide
100-200 μg
200-400 μg
>400 μg
Flunisolide
500-750 μg
1,000-2,250 μg
>1,250 μg
Fluticasone
100-200 μg
200-500 μg
>500 μg
Triamcinolone acetonide
400-800 μg
800-1,200 μg
>1,200 μg



· Penghantaran obat ke paru-paru dan bioavaibilitas sistemik juga ditentukan dari alat/tehnik yang dipakai. Apabila menggunakan pMDI (“Pressured Metered Dose Inhaler”), obat yang mencapai paru-paru sebesar 5 – 25%, dengan sistim DPI (Dry Powder Inhaler) mencapai 10-35%. Penggunaan “spacer / holding chamber” akan mengurangi deposisi obat diorofaring dan meningkatkan deposisi obat di paru-paru. Berkumur setelah menggunakan obat inhalasi juga merupakan salah satu cara untuk mengurangi jumlah obat yang tertelan.

JENIS TERAPI INHALASI
· Flutikason Propionat (FP) merupakan steroid inhalasi yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor steroid, sebagian kecil diabsorpsi di lambung dan dimetabolisme sempurna oleh hepar. Dosis harian harus dititrasi sesuai dengan respon klinis dan uji faal paru. Lipofilisitasnya 3, 300, dan 1000 kali lebih tinggi dibanding BDP, BUD dan TA. Flutikason propionat memiliki afinitas terhadap reseptor steroid 1,5 kali lebih tinggi dibanding BMP dan mometason furoat, 3 kali lebih tinggi dibanding BUD dan 20 kali lebih tinggi dibanding Flunisolid dan TA. Waktu paruh afinitas FP pada reseptor steroid lebih dari 10 jam, BUD 5 jam, BMP 7,5 jam dan TA 4 jam.
· Flunisolid dan Triamsinolon Asetonid (TA) sudah ditinggalkan dan jarang dipakai karena efektifitasnya yang rendah dan efek samping yang besar.
· Budesonid(BUD) nerupakan steroid inhalasi yang paling banyak diteliti. Kadar puncak tercapai setelah 15 – 30 menit inhalasi, terdeposisi 25%-30% di jaringan paru. Dimetabolisme secara cepat dan sempurna di hepar, bentuk metabolitnya diekskresi melalui urin dan feses dan hanya memiliki potensi seperseratus dari Budesonid. Budesonid mempunyai kemampuan berikatan (afinitas) dengan reseptor glukokortikoid 7 kali lebih besar dibanding deksametason. Dosis anak 200 –800 ug/hari diberikan melalui MDI, turbuhaler atau jet nebulizer. Suatu penelitian tentang pemberian budesonid secara inhalasi dosis sedang pada penderita asma anak, tidak dapat membuktikan adanya proses demineralisasi tulang, baik berupa perubahan masa maupun densitas tulang.
· Beklometason dipropionat(BDP) merupakan steroid inhalasi yang pertama kali digunakan secara klinis. Setelah inhalasi, kadar puncak tercapai setelah 5 jam. Di jaringan paru akan segera mengalami pemecahan menjadi beklometason monopropionat (BMP) yang mempunyai potensi lebih kuat dibanding BDP. Pemecahan BMP di hepar lebih lambat dibanding Budesonid ,sehingga efek sistemiknya lebih besar. Dosis inhalasi pada anak usia dibawah 8 tahun :100-200 ug/hari , usia lebih dari 8 tahun 150-500ug/ hari ,diberikan 2 – 4 kali/ hari. (1,11,15) Steroid inhalasi yang memiliki bioavaibilitas di jaringan paru tertinggi adalah Budesonid, namun suatu preparat baru BDP yang diformulasikan tanpa propelan “chlorofluorocarbon” (CFC) atau dikenal dengan BDP dengan propelan “hydrofluoroalkene (HFA) terdeposisi 55-60% di jaringan paru.

EFEK SAMPING
· Beberapa efek samping sistemik akibat steroid inhalasi yang pernah dilaporkan adalah efek pengurangan masa tulang, hambatan pertumbuhan melalui penekanan aksis “Hypothalamic-pituitary-adrenal”(HPA) dan katarak. Masih terjadi kontroversi tentang hambatan pertumbuhan akibat steroid inhalasi, mengingat asma sendiri juga dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan. Ada bukti bahwa efek supresi pertumbuhan pada masa anak akibat pemberian steroid tidak bersifat permanen.
· Efek samping lokal pemberian steroid inhalasi yang pernah dilaporkan adalah disfonia dan kandidiasis oral. Disfonia diduga terjadi karena miopati pada otot laring, namun efek samping ini bersifat reversibel. Kandidiasis oral dapat dicegah dengan cara berkumur atau cuci mulut setelah pemakaian steroid inhalasi.


INDIKASI PEMBERIAN :

· Asma dapat dibagi 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (“Reliever”) dan obat pengendali (“Controller”). Obat pereda digunakan pada saat eksasertasi atau saat gejala asma sedang timbul dan apabila serangan sudah teratasi maka obat ini dihentikan. Termasuk obat pereda asma adalah: inhalasi agonis b2 aksi cepat (terbutalin, salbutamal, orsiprenalin, fenoterol), steroid sistemik (prednison, prednisolon, metil prednisolon), inhalasi anti kolinergik (ipratropium bromid, oksitropium bromid), xantinergik aksi cepat (teofilin), agonis b2 aksi cepat oral (terbutalin, salbutamol, orsiprenalin, heksoprenalin, trimetokuinol).
· Obat pengendali asma digunakan untuk pencegahan, untuk mengatasi masalah inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus dalam jangka waktu relatif lama, tergantung derajat penyakit asma dan respon terhadap pengobatan. Termasuk obat ini adalah : inhalasi anti inflamasi non steroid (kromoglikat, nedokromil), inhalasi steroid (beklometason, budesonid, triamsionolon, flunisonid dan flutikason dipropionat), inhalasi atau oral agonis beta 2 aksi lambat( prokaterol, bambuterol, salmeterol, klenbuterol), golongan obat oral lepas lambat (terbutalin, salbutamol, teofilin), antihistamin (ketotifen), anti leukotrin (zafirlukas).
· Obat hirupan untuk penderita batuk, berbeda indikasi peeberian dan lama waktu pemberian. Bila diberikan sebagai obat pereda hanya diberikan saat keluhan sesak atau batuk sesak tersebut timbul. Jadi tidak ada batasan harus berapa lama diberikan. Pada infeksi saluran napas akut yang menyerupai asma seperti sesak, batuk berat dan berbunyi ngik. Biasanya cukup diberikan saat serangan infeksi tersebut yaitu antara 1-5 hari. Biasanya penyebab tersering infeksi saluran napas adalah virus. Pada hari ke 6 dan berikutnya infeksi terdapat kecenderungan membaik. Bila saat keluhan batuk dan sesak sudah jauh berkurang tidak perlu dilanjutkan.
· Bila pada penderita asma tertentu pemberian dapat diberikan dalam jangka waktu lebih lama, tergantung respon dan manifestasi klinis yang ada.
· Bila dokter menyatakan anak anda bukan asma biasanya terapi inhalasi tersebut tidak perlu dan tidak akan berespon meskipun batuknya keras tetapi tidak disertrai sesak atau napas berbunyi.

END POINT
· Sebenarnya terapi inhalasi adalah terapi untuk penderita asma. Meskipun beberapa penyakit infeksi pada saluran napas juga akan berespon baik terhadap terapi ini. Biasanya penyakit infeksi saluran napas yang menyerupai asma bisa diberikan terapi ini. Tetapi tidak semua batuk berespon diberikan terapi ini, meskipun batuk itu sangat keras.
· Pada kasus pemberian terapi hirupan pereda, tidak ada batasan lama pemberian, tetapi tergantung manifestasi klinis yang timbul.
· Bila dokter menyatakan anak anda bukan asma atau menyerupai asma, biasanya terapi inhalasi tersebut tidak perlu dan tidak akan berespon meskipun batuknya keras. Sebaliknya bila batuk tidak menyerupai asma dan tetapi tidak disertai sesak atau napas berbunyi, terapi inhalasi tidak terlalu bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA



TERAPI HIRUPAN UNTUK ASMA DAN BATUK PADA ANAK

Dr Widodo Judarwanto SpA

CHILDREN ALLERGY CLINIC
PICKY EATERS CLINIC (KLINIK KESULITAN MAKAN)
Jl Taman Bendungan Asahan 5 Bendungan Hilir Jakarta Pusat
telp : (021) 70081995 – 70081995
email : wido25@hotmail.com , http://alergianak.blogspot.com

ILUSTRASI KASUS
· Seorang ibu kebingugan, saat anaknya batuk keras dan menggoggong seperti anjing tetapi hanya diberi obat minum dari dokter. Sebagian temannya mengatakan bahwa sebaiknya mendapatkan terapi uap saja sehingga capat sembuh seperti pengalaman anaknya sebelumnya. Saat berobat ke dokter lainnya anaknya disaarankan untuk terapi inhalasi selama 10 hari berturut-turut.
· Benarkah semua batuk harus mendapatkan terapi inhalasi ? Kapan indikasi terapi inhalasi diberikan ? Bila harus diberi berapa lama terapi tersebut harus diberikan ?

BACK GROUND
· Pada awalnya terapi steroid hirupan atau inhalasi diberikan untuk penyakit asma. Terapi ini dirancang sebagai preparat alternatif untuk menghindari efek sistemik yang terjadi pada pemberian steroid oral dan parenteral. Setelah akhirnya diketahui bahwa proses inflamasi merupakan dasar patogenesa asma yang utama , maka steroid inhalasi direkomendasikan untuk diberikan sedini mungkin pada asma persisten untuk mencegah terjadinya “airway remodelling“.
· Preparat steroid inhalasi dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki efek anti inflamasi topikal yang maksimal dan efek sistemik seminimal mungkin. Termasuk dalam golongan obat inhalasi steroid antara lain Beclometasone Dipropionate (BDP), Budesonide (BUD), Triamcinolone Acetonite (TA), Flunisonide, Fluticasone Dipropionate (FDP).
· Konsensus Nasional tahun 2000 menggunakan batasan bahwa asma adalah mengi bertulang dan / atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut ; timbul secara episodik, cenderung malam / dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktifitas fisik, serta adanya riwayat asma atau atopi pada pasien / keluarganya.
· Menurut GINA (Global Initiative For Asthma) 2002, batasan asma menggambarkan konsep inflamasi sebagai dasar mekanismenya. Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel eosinofil dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan batuk, terutama pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas namun bervariasi, biasanya bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan
· Sebenarnya terapi inhalasi adalah terapi untuk penderita asma. Meskipun beberapa penyakit infeksi pada saluran napas juga akan berespon baik terhadap terapi ini. Biasanya penyakit infeksi saluran napas yang menyerupai menyerupai asma bisa diberikan terapi ini. Tetapi tidak semua batuk berespon diberikan terapi ini, meskipun batuk itu sangat keras.


MEKANISME TERJADINYA PENYAKIT ASMA

· Ada dua faktor utama berperan dalam timbulnya serangan asma. Pertama faktor genetik dan yang kedua faktor lingkungan. Faktor lingkungan termasuk: alergen, polusi (indoor polutants maupun outdoor polutans) dan infeksi (virus, bakteri). Interaksi kedua faktor tersebut akan mengakibatkan proses inflamasi, berupa terbentuknya mediator-mediator inflamasi termasuk sitokin. Semuanya akan mengakibatkan terjadinya perubahan struktur dan perubahan fungsi saluran nafas (kerusakan epitel saluran nafas, hipersekresi, kongesti / pembuluh darah, edema, bronkokonstriksi, “airway remodelling”) yang akan memberikan gejala-gejala klinis asma.
· Reaksi bronkial terhadap alergen menunjukkan reaksi asma segera (immediate phase response) dan reaksi asma fase lanjut (late-phase response). Apabila ada suatu rangsangan atau paparan alergen pada permukaan mukosa saluran nafas, “primary effector cells” (pro inflammatory cells) yang terdapat pada saluran nafas seperti : sel mas, makrofag dan sel epitel akan mengeluarkan mediator inflamasi (termasuk sitokin) yang merangsang terjadinya proses inflamasi pada saluran nafas.
· Reaksi asma segera (RAS) berupa konstriksi bronkus, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, edema dan migrasi sel. Ternyata, disamping itu mediator inflamasi tersebut juga akan menarik dan mengaktifkan “secondary effector cells” (sel inflamasi yang berasal dari sirkulasi seperti eosinofil, netrofil, makrofag dan limfosit) dan sel-sel inipun akan menghasilkan mediator inflamasi yang akan memperberat inflamasi yang sudah terjadi sebelumnya. Pelepasan mediator inflamasi akibat infiltrasi sel-sel tersebut akan menimbulkan peningkatan kepekaan bronkus terhadap rangsangan (“bronchial hyperreactivity”). Reaksi asma fase lanjut (RAL) terjadi dalam waktu dua sampai empat jam setelah RAS. Fase lanjut ini mencapai puncaknya setelah 24 jam dan menurun secara bertahap. Pada reaksi asma segera (RAS) tidak terjadi hipereaktivitas bronkus. Pada reaksi asma fase lanjut (RAL), sel eosinofil dan netrofil berinteraksi dengan mediator lain menyebabkan kerusakan dan deskuanasi sel epitel bronkus dengan cara meningkatkan fragilitas epitel dan melemahkan daya lekat sel epitel pada sel basal. Mekanisme migrasi sel radang ke saluran nafas sangat kompleks, mengikutsertakan “adhesion molecule substance” (ICAM-1,2,3, intergrin, selectin) serta peran limfosit dan lain-lain sel yang memproduksi limfokin dan sitokin yang berperan penting terjadinya inflamasi akut maupun kronik.

PENATALAKSANAAN ASMA

· Tujuan tatalaksana asma secara umum adalah untuk menjamin tercapainya proses tumbuh kembang secara optimal. Penatalaksanaan asma secara global yang dianjurkan oleh WHO, meliputi pencegahan dan kontrol lingkungan hidup, terapi farmakologi, pemakaian tes obyektif faal paru untuk menilai dan monitor perjalanan asma, edukasi asma pada penderita.
· Pengobatan asma didasarkan keadaan penderita asma, artinya saat eksaserbasi atau saat di luar serangan. Pada saat serangan, asma dapat digolongkan dalam keadaan asma ringan, asma sedang dan asma berat. Diluar serangan pembagian asma menjadi 3 yaitu asma episodik jarang, asma episodik sering, asma persisten (asma berat dan asma sangat berat).(6) Pembagian derajat penyakit asma pada anak dapat dilihat pada tabel 1.

Pembagian derajat penyakit asma pada anak. (
Parameter klinis, kebutuhan obat, dan faal paru
Asma episodik jarang (Asma ringan)
Asma episodik sering (Asma sedang)
Asma persitan (Asma berat)
1. Frekuensi serangan
<1x>1x / bulan
Sering
2. Lama serangan
<>80%
PEF/FEV1 60-80%
PEF/FEV1 <60%>15%
Variabilitas >30%
Variabilitas >50%


· Obat asma dapat dibagi 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (“Reliever”) dan obat pengendali (“Controller”). Obat pereda digunakan pada saat eksasertasi atau saat gejala asma sedang timbul dan apabila serangan sudah teratasi maka obat ini dihentikan. Termasuk obat pereda asma adalah: inhalasi agonis b2 aksi cepat (terbutalin, salbutamal, orsiprenalin, fenoterol), steroid sistemik (prednison, prednisolon, metil prednisolon), inhalasi anti kolinergik (ipratropium bromid, oksitropium bromid), xantinergik aksi cepat (teofilin), agonis b2 aksi cepat oral (terbutalin, salbutamol, orsiprenalin, heksoprenalin, trimetokuinol).
· Obat pengendali asma digunakan untuk pencegahan, untuk mengatasi masalah inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus dalam jangka waktu relatif lama, tergantung derajat penyakit asma dan respon terhadap pengobatan. Termasuk obat ini adalah : inhalasi anti inflamasi non steroid (kromoglikat, nedokromil), inhalasi steroid (beklometason, budesonid, triamsionolon, flunisonid dan flutikason dipropionat), inhalasi atau oral agonis beta 2 aksi lambat( prokaterol, bambuterol, salmeterol, klenbuterol), golongan obat oral lepas lambat (terbutalin, salbutamol, teofilin), antihistamin (ketotifen), anti leukotrin (zafirlukas).

· Tatalaksana asma anak jangka panjang masih mengikuti hasil konsensus Nasional tahun 2000. Steroid inhalasi biasanya efektif pada dosis rendah. Pemberian Beklometason dan Budesonid dosis 200 ug/hari belum menunjukkan efek samping jangka panjang. Pada anak, dosis yang masih dianggap aman adalah 400 ug /hari. Steroid inhalasi sebaiknya diberikan lebih dari 6 minggu walaupun efek klinisnya sudah terlihat, karena apabila langsung dihentikan maka hiperreaktivitas bronkus akan timbul seperti keadaan sebelum terapi dalam kurun waktu seminggu sesudah obat dihentikan. Dalam alur tatalaksana asma tampak bahwa apabila tatalaksana suatu derajat asma sudah adekuat namun belum menunjukkan respon dalam 6 - 8 minggu, maka derajatnya berpindah ke derajat yang lebih berat dan sebaliknya. Jika dengan steroid inhalasi dosis 400 – 600 ug/hari asma belum terkendali, perlu dipertimbangkan pemberian beta agonis kerja lambat, beta agonis lepas terkendali,teofilin lepas lambat atau antileukotrin. Jika asma masih belum terkendali juga, mungkin perlu diberi steroid oral.

TERAPI INHALASI

· Pemberian obat inhalasi pada anak harus disesuaikan dengan umur. Lebih dari 50% anak dengan asma tidak dapat memakai alat hirupan biasa (“metered dose inhaler”).Tabel berikut memperlihatkan anjuran pemakaian alat inhalasi disesuaikan dengan usianya.
· Alat inhalasi akan berfungsi baik apabila obat yang dikeluarkan cukup, droplet yang disalurkan berukuran kecil dan waktu nebulasi pendek. Droplet berukuran lebih besar dari 5 um akan dideposit di orofaring, ukuran kurang dari 5 um akan sampai pada saluran napas kecil dan alveoli.

Jenis alat inhalasi disesuaikan dengan umur(
Umur
Alat Inhalasi
<> 8 tahun
Nebuliser,
MDI
Alat hirupan bubuk (DPI)
Autohaler


Dosis berbagai Steroid Inhalasi menurut GINA 2002(
Adults



Drug
Low dose
Medium dose
High dose
Beclomethasone dipropionate
200-500 μg
500-1,000 μg
>1,000 μg
Budesonide
200-400 μg
400-800 μg
>800 μg
Flunisolide
500-1,000 μg
1,000-2,000 μg
>2,000 μg
Fluticasone
100-250 μg
250-500 μg
>500 μg
Triamcinolone acetonide
400-1,000 μg
1,000-2,000 μg
>2,000 μg

Children



Drug
Low dose
Medium dose
High dose
Beclomethasone dipropionate
100-400 μg
400-800 μg
>800 μg
Budesonide
100-200 μg
200-400 μg
>400 μg
Flunisolide
500-750 μg
1,000-2,250 μg
>1,250 μg
Fluticasone
100-200 μg
200-500 μg
>500 μg
Triamcinolone acetonide
400-800 μg
800-1,200 μg
>1,200 μg



· Penghantaran obat ke paru-paru dan bioavaibilitas sistemik juga ditentukan dari alat/tehnik yang dipakai. Apabila menggunakan pMDI (“Pressured Metered Dose Inhaler”), obat yang mencapai paru-paru sebesar 5 – 25%, dengan sistim DPI (Dry Powder Inhaler) mencapai 10-35%. Penggunaan “spacer / holding chamber” akan mengurangi deposisi obat diorofaring dan meningkatkan deposisi obat di paru-paru. Berkumur setelah menggunakan obat inhalasi juga merupakan salah satu cara untuk mengurangi jumlah obat yang tertelan.

JENIS TERAPI INHALASI
· Flutikason Propionat (FP) merupakan steroid inhalasi yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor steroid, sebagian kecil diabsorpsi di lambung dan dimetabolisme sempurna oleh hepar. Dosis harian harus dititrasi sesuai dengan respon klinis dan uji faal paru. Lipofilisitasnya 3, 300, dan 1000 kali lebih tinggi dibanding BDP, BUD dan TA. Flutikason propionat memiliki afinitas terhadap reseptor steroid 1,5 kali lebih tinggi dibanding BMP dan mometason furoat, 3 kali lebih tinggi dibanding BUD dan 20 kali lebih tinggi dibanding Flunisolid dan TA. Waktu paruh afinitas FP pada reseptor steroid lebih dari 10 jam, BUD 5 jam, BMP 7,5 jam dan TA 4 jam.
· Flunisolid dan Triamsinolon Asetonid (TA) sudah ditinggalkan dan jarang dipakai karena efektifitasnya yang rendah dan efek samping yang besar.
· Budesonid(BUD) nerupakan steroid inhalasi yang paling banyak diteliti. Kadar puncak tercapai setelah 15 – 30 menit inhalasi, terdeposisi 25%-30% di jaringan paru. Dimetabolisme secara cepat dan sempurna di hepar, bentuk metabolitnya diekskresi melalui urin dan feses dan hanya memiliki potensi seperseratus dari Budesonid. Budesonid mempunyai kemampuan berikatan (afinitas) dengan reseptor glukokortikoid 7 kali lebih besar dibanding deksametason. Dosis anak 200 –800 ug/hari diberikan melalui MDI, turbuhaler atau jet nebulizer. Suatu penelitian tentang pemberian budesonid secara inhalasi dosis sedang pada penderita asma anak, tidak dapat membuktikan adanya proses demineralisasi tulang, baik berupa perubahan masa maupun densitas tulang.
· Beklometason dipropionat(BDP) merupakan steroid inhalasi yang pertama kali digunakan secara klinis. Setelah inhalasi, kadar puncak tercapai setelah 5 jam. Di jaringan paru akan segera mengalami pemecahan menjadi beklometason monopropionat (BMP) yang mempunyai potensi lebih kuat dibanding BDP. Pemecahan BMP di hepar lebih lambat dibanding Budesonid ,sehingga efek sistemiknya lebih besar. Dosis inhalasi pada anak usia dibawah 8 tahun :100-200 ug/hari , usia lebih dari 8 tahun 150-500ug/ hari ,diberikan 2 – 4 kali/ hari. (1,11,15) Steroid inhalasi yang memiliki bioavaibilitas di jaringan paru tertinggi adalah Budesonid, namun suatu preparat baru BDP yang diformulasikan tanpa propelan “chlorofluorocarbon” (CFC) atau dikenal dengan BDP dengan propelan “hydrofluoroalkene (HFA) terdeposisi 55-60% di jaringan paru.

EFEK SAMPING
· Beberapa efek samping sistemik akibat steroid inhalasi yang pernah dilaporkan adalah efek pengurangan masa tulang, hambatan pertumbuhan melalui penekanan aksis “Hypothalamic-pituitary-adrenal”(HPA) dan katarak. Masih terjadi kontroversi tentang hambatan pertumbuhan akibat steroid inhalasi, mengingat asma sendiri juga dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan. Ada bukti bahwa efek supresi pertumbuhan pada masa anak akibat pemberian steroid tidak bersifat permanen.
· Efek samping lokal pemberian steroid inhalasi yang pernah dilaporkan adalah disfonia dan kandidiasis oral. Disfonia diduga terjadi karena miopati pada otot laring, namun efek samping ini bersifat reversibel. Kandidiasis oral dapat dicegah dengan cara berkumur atau cuci mulut setelah pemakaian steroid inhalasi.


INDIKASI PEMBERIAN :

· Asma dapat dibagi 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (“Reliever”) dan obat pengendali (“Controller”). Obat pereda digunakan pada saat eksasertasi atau saat gejala asma sedang timbul dan apabila serangan sudah teratasi maka obat ini dihentikan. Termasuk obat pereda asma adalah: inhalasi agonis b2 aksi cepat (terbutalin, salbutamal, orsiprenalin, fenoterol), steroid sistemik (prednison, prednisolon, metil prednisolon), inhalasi anti kolinergik (ipratropium bromid, oksitropium bromid), xantinergik aksi cepat (teofilin), agonis b2 aksi cepat oral (terbutalin, salbutamol, orsiprenalin, heksoprenalin, trimetokuinol).
· Obat pengendali asma digunakan untuk pencegahan, untuk mengatasi masalah inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus dalam jangka waktu relatif lama, tergantung derajat penyakit asma dan respon terhadap pengobatan. Termasuk obat ini adalah : inhalasi anti inflamasi non steroid (kromoglikat, nedokromil), inhalasi steroid (beklometason, budesonid, triamsionolon, flunisonid dan flutikason dipropionat), inhalasi atau oral agonis beta 2 aksi lambat( prokaterol, bambuterol, salmeterol, klenbuterol), golongan obat oral lepas lambat (terbutalin, salbutamol, teofilin), antihistamin (ketotifen), anti leukotrin (zafirlukas).
· Obat hirupan untuk penderita batuk, berbeda indikasi peeberian dan lama waktu pemberian. Bila diberikan sebagai obat pereda hanya diberikan saat keluhan sesak atau batuk sesak tersebut timbul. Jadi tidak ada batasan harus berapa lama diberikan. Pada infeksi saluran napas akut yang menyerupai asma seperti sesak, batuk berat dan berbunyi ngik. Biasanya cukup diberikan saat serangan infeksi tersebut yaitu antara 1-5 hari. Biasanya penyebab tersering infeksi saluran napas adalah virus. Pada hari ke 6 dan berikutnya infeksi terdapat kecenderungan membaik. Bila saat keluhan batuk dan sesak sudah jauh berkurang tidak perlu dilanjutkan.
· Bila pada penderita asma tertentu pemberian dapat diberikan dalam jangka waktu lebih lama, tergantung respon dan manifestasi klinis yang ada.
· Bila dokter menyatakan anak anda bukan asma biasanya terapi inhalasi tersebut tidak perlu dan tidak akan berespon meskipun batuknya keras tetapi tidak disertrai sesak atau napas berbunyi.

END POINT
· Sebenarnya terapi inhalasi adalah terapi untuk penderita asma. Meskipun beberapa penyakit infeksi pada saluran napas juga akan berespon baik terhadap terapi ini. Biasanya penyakit infeksi saluran napas yang menyerupai asma bisa diberikan terapi ini. Tetapi tidak semua batuk berespon diberikan terapi ini, meskipun batuk itu sangat keras.
· Pada kasus pemberian terapi hirupan pereda, tidak ada batasan lama pemberian, tetapi tergantung manifestasi klinis yang timbul.
· Bila dokter menyatakan anak anda bukan asma atau menyerupai asma, biasanya terapi inhalasi tersebut tidak perlu dan tidak akan berespon meskipun batuknya keras. Sebaliknya bila batuk tidak menyerupai asma dan tetapi tidak disertai sesak atau napas berbunyi, terapi inhalasi tidak terlalu bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA





  • Hoekx JCM, HedlinG, Pedersen W, Sorva R, Hollingworth K ,Efthimiou J. Fluticasone propionate compared with budesonide : a double blind trial in Asthmatic children using powder devices at a dosage of 400 ug/ day. Eur Respir J 1996;9: 2263-72.


  • Ferguson AC, Spier S, Manjra A, Versteegh FGA, Mark S, Zhang P. Efficacy and safety of high dose inhaled steroids in children with asthma : Acomparison of fluticasone propionate with budesonide.J Pediatr 1999;4:422-7.


  • National Heart, Lung and Blood Institute, World Health Organization. Global Initiative For Asthma : Global Strategy for asthma management and prevention. Maryland, 2002.


  • Spahn JD, Covar RA, Gleason MC, Tinkelman DG, Szefler SJ. Pharmacologic managemen of asthma in infants and small children. In: Naspitz CK, Szefler SJ, Tinkelman DG, Warner JO. Eds.Textbook of Pediatric Asthma,1st ed,London :Martin Dunitz Ltd,2001, 121-47.


  • Toogood JH, Jennings BH, Baskerville JC, Lefcoe NM. Aerosol Corticosteroid. In : Weiss EB, Stein M. Eds. Bronchial Asthma, 3 rd ed, Boston, Little Brown and Co, 1993,818-41.


  • Shapiro GG, Busse WW. Eds. Allergy, Asthma and Immunology From Infancy to Adulthood, 3rd ed, Philadelphia, WB Saunders Co,1996,443-68.


  • Colice Gl. Comparing Inhaled Corticosteroids. Respiratory Care 2000;7:846-


  • Allen DB. Inhaled corticosteroid therapy for asthma in preschool children : Growth Issues. Pediatrics 2002;109:373-80.


  • Hoekx JCM, HedlinG, Pedersen W, Sorva R, Hollingworth K ,Efthimiou J. Fluticasone propionate compared with budesonide : a double blind trial in Asthmatic children using powder devices at a dosage of 400 ug/ day. Eur Respir J 1996;9: 2263-72.