Info Seputar Sukabumi

Tampilkan postingan dengan label MASUK ANGIN ATAU PANAS DALAM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MASUK ANGIN ATAU PANAS DALAM. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 07 Juni 2008


POINT OF INTEREST : MASUK ANGIN ATAU PANAS DALAM, ISTILAH ”SALAH KAPRAH” DALAM MASYARAKAT.


”MASUK ANGIN ATAU PANAS DALAM APAKAH SUATU GEJALA GASTROINTESTINAL FOOD HYPERSENSITIVITY ?”




Dr Widodo Judarwanto SpA,

ALLERGY BEHAVIOUR CLINiC
PICKY EATERS CLINIC (Klinik kesulitan makan)
Jl Taman Bendungan Asahan 5 Bendungan Hilir Jakarta Pusat
telp : (021) 70081995 - 5703646
email :
wido25@hotmail.com , htpp://www.alergianak.blogspot.com


Duh, perut anakku sering kembung. Kenapa ya anakku sering ”masuk angin ”. Demikian keluhan orang tua ketika gejala tersebut sedang dialami anaknya. Sering juga kita mendengar keluhan, waduh aku sulit buang air besar dan sariawanku kambuh lagi. Kenapa ya, ”panas dalam” sering menggangguku. Apakah ”masuk angin” dan ”panas dalam ” itu ? Di bidang kedokteran sebenarnya istilah tersebut tidak pernah dikenal dan tidak akan pernah dipakai. Tampaknya istilah tersebut adalah feneomena ”salah kaprah” yang harus diluruskan karena secara jangka panjang ternyata hanya akan mengganggu penanganan suatu penyakit yang terjadi.

Problem kesehatan tersebut dalam kehidupan sehari-hari banyak dialami oleh masyarakat. Bahkan mungkin sekitar 30-40% manusia mengalami keluhan tersebut hilang timbul bergantian. Hal ini bisa dibuktikan bahwa iklan atau obat ”masuk angin” dan ”panas dalam ” sangat marak, sangat laris serta omsetnya sangat menggiurkan pelaku bisnis. Secara ilmiah kedokteran ternyata, istilah ”masuk angin” dan ”panas dalam ” adalah sesuatu ”salah kaprah ” yang sudah terjadi secara turun temurun dalam masyarakat. Tampaknya ”salah kaprah ” yang sudah menjadi budaya masyarakat ini harus diluruskan. Meskipun dalam bidang kedokteran terminologi tersebut tidak pernah digunakan, ternyata banyak juga dokter yang memvonis diagnosis ”masuk angin” dan ”panas dalam” kepada pasiennya.
Istilah masuk angin dan panas dalam yang melabeli gangguan tersebut secara turun temurun dipakai oleh masyarakat. Di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita tampaknya semua keluhan yang mengganggu saluran cerna yang terjadi di dalam tubuh manusia sering dikaitkan dengan istilah masuk atau panas dalam. Gangguan tersebut di antaranya adalah sariawan, mulut kering, perut kembung, nyeri perut, mual, sakit kepala, sulit buang air besar atau diare. Keluhan gangguan saluran cerna tersebut memang penyebabnya sangat banyak dan bervariasi

APAKAH ”MASUK ANGIN” DAN ”PANAS DALAM” ITU ?
Istilah ”masuk angin” dan ”panas dalam ” terjadi sudah turun temurun terjadi di dalam masyarakat. Siapa yang memulai atau kapan mulai istilah ini digunakan sulit untuk diketahui. Sebenarnya apa definisi dan arti masuk angin itu sendiri tidak ada yang bisa menjelaskan dengan pasti, karena terminologi tersebut timbul tanpa landasan ilmiah yang berbasis bukti penelitian. Sampai sejauh ini belum ada penelitian yang dilakukan untuk mengetahui apakah yang dimaksud masyarakat ”awam medis” dengan ”masuk angin” dan ”panas dalam ”. Kalaupun dilakukan penelitian pasti juga sangat sulit dapat dijadikan definisi dan batasan istilah tersebut. Dalam pengalaman praktek sehari-hari, penulis melakukan penelitian deskriptif kepada pasien pribadi ternyata masyarakat menganggap ”masuk angin” dan ”panas dalam” adalah gangguan saluran cerna yang ringan seperti kembung, tidak enak di perut, mual, sakit kepala, sariawan, sulit buang air besar, sariawan dan gangguan cerna lainnya.
Mengapa istilah tersebut timbul juga sulit diungkapkan. Mungkin saja istilah tersebut timbul karena terdapat suatu kondisi penyakit yang belum bisa diungkapkan secara medis apakah penyebab dan mekanisme suatu penyakit bisa terjadi. Fenomena berbagai keluhan tersebut tampaknya sering terjadi pada ”gangguan fungsi saluran cerna”. Di bidang kedokteran istilah yang sering dipakai adalah ”irritable bowel syndrome”, ”stomach discomfort”, stomatitis, ”konstipasi fungsional”, ”gastrooesephageal refluks” dan berbagai istilah gangguan cerna lainnya. Tampaknya banyak kesamaan antara istilah ”masuk angin” dan ”panas dalam ” dan istilah medis tersebut. Persamaannya pada umumnya gangguan tersebut adalah gangguan fungsi saluran cerna mulai dari mulut sampai anus, banyak kemungkinan penyebab dan masih belum pasti diketahui penyebabnya.

GANGGUAN FUNGSI SALURAN CERNA
Gangguan saluran cerna seperti muntah, diare, nyeri perut, sulit BAB merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan orangtua kepada dokter. Secara umum gangguan tersebut dapat dibagi menjadi secara gangguan fungsional, gangguan organ dan infeksi.
Gangguan organ saluran cerna bersifat bawaan sejak lahir seperti penyakit Hirschprung, Piloris stenosis, atresia oesefagus dan lain-lain. Gangguan organ tubuh yang bersifat dapatan adalah apendisitis (usus buntu), invaginasi (usus masuk ke usus) dan lain-lain. Gangguan organ saluran cerna ini biasanya penanganannya harus membutuhkan tindakan operasi. Gangguan dalam kelompok ini biasanya sangat jarang terjadi.
Gangguan saluran cerna yang disebabkan karena infeksi baik virus ataupun bakteri adalah gastroenteritis akut (muntaber), disentri, tifus dan lain sebagainya. Gangguan infeksi ini biasanya bersifat insidentil atau relatif tidak sering terjadi dan biasanya timbul karena adanya kontak sumber infeksi di sekitarnya.
Sedangkan gangguan fungsi saluran cerna merupakan gangguan yang paling banyak dikeluhkan. Gangguan ini bersifat jangka panjang dan hilang timbul kadang sulit diduga penyebabnya. Karena begitu banyaknya kasus yang terjadi dan akan membaik dengan pertambahan usia maka gangguan ini sering dianggap sebagai fenomena normal dan sering dianggap biasa. Di bidang kedokteran gangguan ini masih belum banyak terungkap dan sangat banyak dijumpai oleh anak bahkan orang dewasa. Sehingga banyak terjadi kontroversi atau teori yang menjelaskan terjadinya gangguan. Secara umum hal ini sering diyakini sebagai gangguan imaturitas atau ketidak matangan saluran cerna pada anak. Teori ini timbul karena gangguan fungsi saluran cerna tersebut akan berkurang dengan pertambahan usia. Meskipun demikian sekitar 20-30% akan menetap hingga usia dewasa meskipun secara kualitas dan kuantitas yang semakin berkurang.
Pada penderita gangguan fungsi saluran cerna biasanya bila dilakukan pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya seoerti foto polos perut (x-photo/rontgen), foto dengan zat warna barium, CT Scan, MRI, Ultrasonografi dan pemeriksaan canggih lainnya. Pada gangguan ini biasanya tidak ditemukan gangguan organ tubuh khususnya saluran cerna. Kalaupun ada kesimpulan pemeriksaan yang diterima pasien hanya bersifat spekulatif dan kadang ”tidak logis” secara ilmiah seperti usus terlalu panjang, lambung terlalu kecil, ”klep” lambung belum sempurna. Padahal istilah medis seperti itu adalah sesuatu yang tidak lazim dipakai. Kalau pasien membaca kesimpulan hasil pemeriksaan pasti dalam jawaban medis yang terbaca biasanya adalah dalam batas normal atau kesan normal. Tetapi, kenapa jawaban atau vonis yang diterima pasien berbeda.
Kejadian seperti ini sepertinya wajar dan sering terjadi. Kadangkala dokter kesulitan menemukan jawaban apakah penyebab penyakit pasiennya. Setelah hasil pemeriksaan normal kadangkala dokter menjawab seadanya yang justru malah menjerumuskan pasien. Dalam keadaan seperti inilah kadang sebagian dokter kesulitan melakukan komunikasi dan edukasi kepada pasien. Sehingga sering diberikan jawaban seadanya, seperti : wah, ini normal mungkin hanya karena stres, terlalu lelah, kurang minum air, kurang makan sayur atau kurang makan buah. Karena kesulitan mencari penyebabnya, kadang pasien menerima jawaban yang lebih tidak ilmiah lagi, seperti : wah ini hanya ”masuk angin” dan ”panas dalam ” biasa.
Seharusnya bila dokter tidak bisa menemukan penyebab penyakit pasien itu adalah hal yang manusiawi. Dokter tidak usah kawatir merasa ”tidak pintar”, karena meskipun ilmu kedokteran sudah demikian pesat ternyata banyak berbagai menifestasi penyakit belum diketahui penyebab dan bagaimana mekanisme terjadinya penyakit tersebut. Idealnya, dokter tidak usah berkecil hati untuk mengatakan, wah terus terang saya masih belum tahu penyebabnya. Karena jawaban yang seadanya, kadang malahan akan sering mengacaukan penanganan dan pencegahan penyakit tersebut.


GANGGUAN FUNGSI SALURAN CERNA DAN GASTROINTESTINAL FOOD HYPERSENSITIFITY

Beberapa penelitian dan pengalaman klinis menunjukkan bahwa reaksi simpang makanan tampaknya berperanan penting dalam gangguan fungsi saluran cerna. Gangguan yang sering dikaitkan dengan reaksi simpang makanan yang mengganggu fungsi saluran cerna tersebut adalah : Dietary Protein-Induced Proctitis/Proctocolitis, Dietary Protein Enteropathy, Dietary Protein Enterocolitis, Gastroesophageal Reflux Infantile Colic, Immediate Gastrointestinal Hypersensitivity, Eosinophilic Gastroenteropathies (Eosinophilic Esophagitis, Gastroenterocolitis, and Gastritis), Oral Allergy Syndrome (Pollen-Food Syndrome), Celiac Disease atau Chronic Constipation cow milk Allergic.
Reaksi hipersensitifitas makanan juga sering dikenal sebagai reaksi simpang makanan dapat terjadi karena alergi makanan, intoleransi makanan, intoleransi gluten (seliak) dan lain-lain. Reaksi simpang makan dapat mengganggu semua organ atau sistem tubuh kita tanpa terkecuali, terutama saluran cerna. Gangguan organ tubuh seperti saluran cerna sering kurang perhatian sebagai target organ reaksi yang ditimbulkan oleh reksi simpang makanan. Sehingga gangguan yang tampaknya sangat banyak terjadi ini sering terabaikan dengan baik penanganannya.
Hipersensitifitas makanan adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan sistim tubuh yang ditimbulkan oleh reaksi simpang makanan. Fungsi organ tubuh yang sering terlibat dalam proses terjadinya alergi makanan adalah saluran cerna. Gejala gangguan saluran cerna yang berkaitan dengan hipersensitifitas makanan adalah kembung, muntah, diare, konstipasi, kolik, nyeri perut, sariawan dan sebagainya.
Beberapa laporan ilmiah baik di dalam negeri atau luar negeri menunjukkan bahwa angka kejadian gangguan hipersensitifitas makanan khususnya alergi terus meningkat tajam beberapa tahun terahkir. Tampaknya alergi merupakan kasus yang cukup mendominasi kunjungan penderita di klinik rawat jalan Pelayanan Kesehatan Anak. Menurut survey rumah tangga dari beberapa negara menunjukkan penyakit alergi adalah adalah satu dari tiga penyebab yang paling sering kenapa pasien berobat ke dokter keluarga. Penyakit pernapasan dijumpai sekitar 25% dari semua kunjungan ke dokter umum dan sekitar 80% diantaranya menunjukkan gangguan berulang yang menjurus pada kelainan alergi. BBC beberapa waktu yang lalu melaporkan penderita alergi di Eropa ada kecenderungan meningkat pesat. Angka kejadian alergi meningkat tajam dalam 20 tahun terakhir. Setiap saat 30% orang berkembang menjadi alergi. Anak usia sekolah lebih 40% mempunyai 1 gejala alergi, 20% mempunyai astma, 6 juta orang mempunyai dermatitis (alergi kulit).
Reaksi hipersensitifitas makanan dapat menyerang semua organ tanpa terkecuali mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan berbagai bahaya dan komplikasi yang mungkin bisa terjadi. Terakhir terungkap bahwa hipersensitifitas makanan ternyata bisa mengganggu fungsi otak, sehingga sangat mengganggu perkembangan anak Gangguan fungsi otak itulah maka timbul ganguan perkembangan dan perilaku pada anak seperti gangguan konsentrasi, gangguan emosi, keterlambatan bicara, gangguan konsentrasi hingga memperberat gejala Autis.
Secara medis proses terjadinya gangguan tersebut bukan karena termakan udara, terkena angin, kurang minum, kurang buah atau kurang sayur. Banyak kasus penderita konstipasi kronis yang rajin makan buah dan sayur tetapi gejala tidak kunjung membaik, demikian pula penderita kembung pada bayi, meskipun sudah pakai baju tebal, tidak pakai ac dan kipas angin tetap saja kembung terus terjadi. Demikian pula banyak penderita yang diyakini sudah banyak minum air putih berbagai gangguan tersebut tidak kunjung membaik.
Secara mekanik integritas mukosa usus dan peristaltik merupakan pelindung masuknya alergi atau reaksi simpang makanan lainnya ke dalam tubuh. Secara kimiawi asam lambung dan enzim pencernaan menyebabkan rusaknya bahan penyebab alergi (denaturasi allergen). Secara imunologik sIgA pada permukaan mukosa dan limfosit pada lamina propia dapat menangkal allergen (penyebab alergi) masuk ke dalam tubuh. Pada usia anak saluran cerna masih imatur (belum matang). Sehingga sistim pertahanan tubuh tersebut masih lemah dan gagal berfungsi sehingga memudahkan alergen masuk ke dalam tubuh. Gangguan saluran cerna yang berkaitan dengan alergi makanan tersebut sering diistilahkan sebagai gastroenteropati atopi.
Saluran cerna adalah target awal dan utama pada proses terjadinya alergi makanan. Karena penyebab utama adalah imaturitas (keitidak matangan) saluran cerna maka gangguan pencernaan yang disebabkan karena alergi paling sering ditemukan pada anak usia di bawah 2 tahun, yang paling sensitif di bawah 3 bulan. Dengan pertambahan usia secara bertahap imaturitas saluran cerna akan semakin membaik secara bertahap pada usia 2 hingga 7 tahun. Hal inilah yang menjelaskan kenapa alergi makanan akan berkurang dengan pertambahan usia tersebut.
MANIFESTASI KLINIS GANGGUAN FUNGSI SALURAN CERNA
Pada bayi baru lahir hingga terutama hingga usia 3 bulan biasanya ditandai sering “ngeden”, meteorismus (kembung), muntah, sering flatus (buang angin), diare, sulit BAB (Buang Air Besar) atau kolik. Gejala ringan biasanya ditandai bayi sering hiccups atau cegukan yang sering dan agak lama.
Gejala ini disertai oleh gerakan seperti mengejan (”ngeden”) pada perut. Biasanya anak tampak sering ”mulet” dengan gerakan tangan sering bergerak lurus ke atas dengan disertai bunyi seperti mengejan di mulut dan perut mengeras. Kadang juga disertai keluhan ”ngeden” bila sedang buang air kecil. Bila buang air besar tampak sulit (ngeden) padahal bentuk feses lembek atau bahkan cair.
Bila keluhan dalam derajat yang tidak ringan sering timbul kolik. Gangguan kolik biasanya ditandai bayi sering rewel seperti kesakitan atau menangis terus menerus tanpa sebab. Gangguan ini biasanya lebih sering terjadi pada malam. Gangguan inilah yang mengakibatkan bayi sering tidak bisa tidur malam hari dan siang hari jam tidurnya sangat panjang. Kolik diduga karena perut bayi mengalami nyeri dan sakit. Penelitian yang dilakukan penulis, bayi yang mempunyai gejala kolik saat usia 2 hingga 7 tahun beresiko terjadi keluhan sakit perut yang berulang. Hal lain didapatkan penderita kolik beresiko terjadi gangguan nyeri perut saat timbul demam.
Dalam buang air besarpun sering terjadi gangguan, biasanya sulit BAB atau malahan diare. Dikatakan sulit BAB, selain ”ngeden” biasanya bayi tidak bisa BAB setiap hari. Sebaliknya bisa juga terjadi BAB yang sering, pada bayi usia kurang 1 bulan frekuensinya lebih 4 kali perhari atau usia di atas 1 bulan lebih dari 2 kali perhari. Bentuk feses biasanya cair atau bahkan keras, berwarna hijau atau gelap dan berbau tajam. Pada anak yang lebih besar tampilan kotoran feses yang terjadi adalah bulat-bulat seperti kotoran kambing.
Keluhan lain gangguan saluran cerna yang sering terjadi adalah muntah. Keluhan ini paling berat terjadi saat usia di bawah 3 bulan. Pada bayi tampak sering ”gumoh” atau susu yang diminum meleleh ke luar mulut. Dalam keadaan yang lebih berat timbul keluhan muntah seperti gerakan menyemprot air dari dalam mulut kadang keluar lewat hidung. Secara bertahap seiring dengan kematangan saluran cerna maka gangguan ini juga secara bertahap akan berkurang. Pada anak yang lebih besar gangguan muntah hanya timbul saat melakukan aktifitas seperti berlari, menangis, naik kendaraan atau makan yang terlalu banyak gejala muntah tersebut akan timbul. Penderita inilah yang sering dianggap sebagai orang yang gampang ”mabuk kendaraan”. Gejala lain yang lebih ringan biasanya gejala mual, biasanya timbul saat minum susu atau makan.
Pada lidah sering ditemukan berwarna putih kotor, perubahan itu terjadi karena lidah merupakan bagian dari dari saluran cerna. Bila lidah berubah warna harus diwaspadai sebagai tanda gangguan pada pencernaan. Gangguan buang air besar dapat berupa sulit buang air besar (tidak setiap hari) atau malahan sering buang air besar sebanyak 3 kali atau lebih pada usia di atas 2 minggu .
Pada anak yang lebih besar dapat berupa nyeri perut berulang, sering muntah, buang air besar (>2 kali perhari), gangguan buang air besar (kotoran keras, berak, tidak setiap hari, berak di celana, berak berwarna hitam atau hijau, berak ngeden), kembung, sulit berak, sering flatus (buang angin), sariawan, mulut berbau dan lidah sering kotor berbentuk pulau atau sariawan (geographic tongue).
GEJALA YANG MENYERTAI
Gangguan pada saluran cerna biasanya sering disertai oleh gangguan kulit (dermatitis atopi) dan gangguan pada hidung. Tanda dan gejala alergi pada kulit biasanya sudah dapat di deteksi sejak lahir. Bayi yang baru lahir apabila sejak dalam kandungan sudah terpapar oleh pencetus alergi tampak terdapat bintil dan bercak kemerahan dan kusam pada kulit dahi dan wajah, kadang disertai timbulnya beberapa bintil kecil warna putih di hidung. Pada bayi sering timbul dermatitis atopi di pipi, daerah popok (dermatitis diapers) dan telinga, kadang dijumpai dermatitis seboroikum atau timbul kerak di kulit kepala. Sering juga timbul bintik kemerahan di sekitar mulut. Kadang timbul furunkel (bisul) di kepala dan badan. Mata dan telinga sering gatal dan digosok-gosok. Karena sering timbul gangguan kulit di sekitar leher dan kepala, seringkali disertai pembesaran kelenjar kepala bagian belakang dekat telinga.
Pada anak yang lebih besar sering urticaria (gatal), miliaria (biang keringat), bengkak di bibir, vaskulitis atau pembuluh darah yang pecah) dengan gambaran lebam biru kehitaman seperti bekas terbentur, bercak ke hitam seperti bekas digigit nyamuk.
Perbedaan lokasi alergi kulit sesuai dengan usia tertentu. Pada bayi sering lokasi alergi sekitar wajah dan daerah popok, pada usia anak lokasi tersebut biasanya berpindah pada darerah lengan dan tungkai. Sedangkan pada anak yang lebih besar atau usia dewasa lokasi alergi kulit biasanya pada pelipatan dalam antara lengan atas dan bawah atau pelipatan dalam antara tungkai atas dan bawah.
Pada anak di bawah 2 tahun, tanda yang paling sensitif untuk mengetahui bahwa gangguan saluran cerna itu terjadi adalah adanya gangguan tidur malam. Artinya bila gangguan tidur malam itu sering terjadi disertai gangguan saluran cerna maka harus diwaspadai adanya makanan alergi yang masih terkonsumsi.
Mulut adalah termasuk salah satu bagian dari sistim saluran cerna. Bila saluran cerna terganggu karena alergi makanan biasanya tampak juga gangguan pada organ tubuh di daerah mulut di antaranya lidah, gigi dan bagian di rongga mulut lainnya.
Pada bayi lidah sering tampak kotor berwarna putih (like moniliasis symptoms) , gejala ini mirip gangguan jamur pada lidah atau moniliasis sejenis jamur pada mulut. Bedanya pada alergi warna putih hanya tipis dan tidak terlalu tebal, namun pada moniliasis tampak lebih tebal. Bila gangguan tersebut karena jamur biasanya dengan obat tetes mulut jamur akan cepat membaik, namun bila karena alergi biasanya diberi obat jamur tetap tidak akan membaik dan tetap sering timbul. Bila karena alergi sebaiknya tidak perlu diberi obat jamur, namun cukup dibersihkan dengan kasa basah.
Pada anak yang lebih besar gangguan alergi bisa menimbulkan sariawan atau luka (aphtous ulcer) pada lidah dan mulut yang sering berulang. Biasanya juga disertai lidah kotor mirip gambaran pulau-pulau atau geographic tounge).
Gangguan lain adalah timbulnya nyeri gigi atau gusi yang bukan di sebabkan karena infeksi atau gigi berlubang. Gangguan ini biasanya sering dianggap sebagai impacted tooth (gigi yang tumbuhnya miring).

KOMPLIKASI
Bila terjadi gangguan saluran cerna, komplikasi yang sering terjdi adalah mudah sakit (infeksi berulang) kesulitan mkanan, dan gangguan otak dan perilaku anak.
Infeksi berulang pada anak adalah infeksi yang sering dialami oleh seorang anak khususnya infeksi saluran napas akut. Kondisi ini diakibatkan karena rendahnya kerentanan seseorang terhadap terhadap terkenanya infeksi. Biasanya infeksi berulang ini dialami berbeda dalam kekerapan kekambuhan, berat ringan gejala, jenis penyakit yang timbul dan komplikasi yang diakibatkan. Gangguan ini sering terjadi pada penderita alergi dan pada penderita defisiensi imun, meskipun kasus yang terakhir tersebut relatif jarang terjadi.
Alergi dan atau gangguan hipersensitifitas makanan yang mengganggu saluran cerna pada anak dapat menyerang semua organ tanpa terkecuali mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan berbagai bahaya dan komplikasi yang mungkin bisa terjadi. Terakhir terungkap bahwa alergi ternyata bisa mengganggu fungsi otak, sehingga sangat mengganggu perkembangan anak Belakangan terungkap bahwa alergi menimbulkan komplikasi yang cukup berbahaya, karena alergi dapat mengganggu semua organ atau sistem tubuh kita termasuk gangguan fungsi otak. Gangguan fungsi otak itulah maka timbul ganguan perkembangan dan perilaku pada anak seperti gangguan konsentrasi, gangguan emosi, keterlambatan bicara, gangguan konsentrasi hingga memperberat gejala Autis.
Gangguan pencernaan inilah yang bisa mengakibatkan rangsangan atau gangguan ke otak meningkat. Gangguan ke otak itu sendiri banyak menimbulkan keluhan perkembangan dan perilaku pada anak. Sehingga sekecil apapun gangguan pencernaan tersebut timbul berulang maka harus diwaspadai lebih dini. Hal itu akan diungkap selanjutnya lebih jelas.

DIAGNOSIS
Diagnosis hipersensitifitas makanan dibuat berdasarkan diagnosis klinis, yaitu anamnesa (mengetahui riwayat penyakit penderita) dan pemeriksaan yang cermat tentang riwayat keluarga, riwayat pemberian makanan, tanda dan gejala hipersensitifitas makanan sejak bayi dan dengan eliminasi dan provokasi.
Untuk memastikan makanan penyebab hipersensitifitas makanan harus menggunakan Provokasi makanan secara buta (Double Blind Placebo Control Food Chalenge = DBPCFC). DBPCFC adalah gold standard atau baku emas untuk mencari penyebab secara pasti hipersensitifitas makanan. Cara DBPCFC tersebut sangat rumit dan membutuhkan waktu, tidak praktis dan biaya yang tidak sedikit. Beberapa pusat layanan alergi anak melakukan modifikasi terhadap cara itu. Children Allergy Center Rumah Sakit Bunda Jakarta melakukan modifikasi dengan cara yang lebih sederhana, murah dan cukup efektif. Modifikasi DBPCFC tersebut dengan melakukan “Eliminasi Provokasi Makanan Terbuka Sederhana”.

PENANGANAN
Sebaiknya masyarakat dan berbagai institusi kesehatan baik swasta dan resmi harus menyadari fenomena “salah kaprah” istilah ”masuk angin” dan ”panas dalam ”. Sebaiknya penderita tidak usah menggunakan istilah tersebut dan meyakini istilah tersebut karena secara jangka panjang akan menaburkan penanganan gangguan tersebut. Memang mungkin saja obat ”masuk angin” dan ”panas dalam ” bermanfaat terutama yang terbuat dari herbal karena memang secara ilmiah mungkin mungkin zat anti oksidan atau beberapa zat yang memperbaiki saluran cerna. Kalaupun itu bermanfaat mungkin hanya berlangsung sesaat, tetapi selanjutnya gangguan itu berulang dan sulit diramalkan timbul hilangnya penyakit. Tetapi, mungkin juga berbagai obat tradisional dan alternatif terebut mungkin tidak bermanfaat karena selain obat tersebut tidak terbukti secara ilmiah tetapi juga karena masih diidentifikasi penyebab dan penanganan pasti penyakit tersebut.
Penanganan terbaik pada penderita hipersensitifitas makanan dengan gangguan saluran cerna adalah adalah dengan menghindari makanan penyebabnya. Pemberian obat-obat anti alergi dan obat untuk saluran cerna dalam jangka panjang adalah bukti kegagalan dalam mengidentifikasi makanan penyebab alergi.
Sebenarnya sejak dulu pendahulu kita atau nenek moyang kita sebelumnya sudah dapat mengidentifikasi secara tidak langsung gangguan ini berdasarkan pengalaman klinis sendiri. Sehingga secara turun temurun timbul istilah ”makanan panas” dan ”makanan dingin”. Ternyata makanan yang beresiko mengakibatkan reaksi hipersensitifitas makanan dianggap sebagai makanan panas. Mungkin hal inilah yang membuat istilah “panas dalam” itu timbul. Fenomena lain yang membuktikan bahwa reaksi hipersensitifitas makanan sangat berpengaruh dengan tubuh kita, terbukti bahwa beberapa buku diet sehat seperti “diet ala golongan darah”, food combaining dan diet alergi, diet feingold, diet bebas casein dan gluten banyak dilakukan dan sempat boomining di berbgaia negara maju karena memang fakta itulah yang terjadi. Tetapi sayangnya berbagai penelitian dan keberhasilan tersebut di Indonesia masih menjadi pengalaman yang tabu dan masih sangat kontroversial baik di kalangan awam dan medis sekalipun.

KESIMPULAN
Sebaiknya masyarakat bahkan sebagaian klinisi harus mulai berupaya meninggalkan istilah ”masuk angin” dan ”panas dalam ”. Istilah tersebut adalah feneomena ”salah kaprah” yang harus diluruskan karena secara jangka panjang ternyata hanya akan mengganggu penanganan suatu penyakit yang terjadi. Sebagian besar keluhan yang diistilahkan ”masuk angin” dan ”panas dalam ” mempunyai banyak kesamaan dengan gangguan fungsi saluran cerna karena hipersensitifitas makanan.
Mengenali secara cermat gejala hipersensitifitas makanan dan mengidentifikasi secara tepat penyebabnya, maka gejala hipersensitifitas makanan dan berbagai kompilkasi yang menyertai khususnya gangguan saluran cerna dapat dihindari. Deteksi gejala hipersensitifitas makanan dan ganggua saluran cerna harus dilakukan sejak dini. Sehingga pengaruh hipersensitifitas makanan terhadap gangguan saluran cerna, gangguan perilaku dan komplikasi lainnya dapat dicegah atau diminimalkan.


DAFTAR PUSTAKA
1. Sampson HA, Anderson JA. Summary and recommendations: classification of gastrointestinal manifestations due to immunologic reactions to foods in infants and young children. J Pediatr Gastroenterol Nutr.2000; 30 :S87 –S94
2. Sampson HA, Sicherer SH, Birnbaum AH. AGA technical review on the evaluation of food allergy in gastrointestinal disorders. Gastroenterology.2001; 120 :1026 –1040.
3. Lake AM, Whitington PF, Hamilton SR. Dietary protein-induced colitis in breast-fed infants. J Pediatr.1982; 101 :906 –910.
4. Machida H, Smith A, Gall D, Trevenen C, Scott RB. Allergic colitis in infancy: clinical and pathologic aspects. J Pediatr Gastroenterol Nutr.1994; 19 :22 –26
5. Odze RD, Bines J, Leichtner AM, Goldman H, Antonioli DA. Allergic proctocolitis in infants: a prospective clinicopathologic biopsy study. Hum Pathol.1993; 24 :668 –674
6. Wilson NW, Self TW, Hamburger RN. Severe cow’s milk induced colitis in an exclusively breast-fed neonate. Case report and clinical review of cow’s milk allergy. Clin Pediatr (Phila).1990; 29 :77 –80
7. Pumberger W, Pomberger G, Geissler W. Proctocolitis in breast fed infants: a contribution to differential diagnosis of haematochezia in early childhood. Postgrad Med J.2001; 77 :252 –254
8. Anveden HL, Finkel Y, Sandstedt B, Karpe B. Proctocolitis in exclusively breast-fed infants. Eur J Pediatr.1996; 155 :464 –467
9. Pittschieler K. Cow’s milk protein-induced colitis in the breast-fed infant. J Pediatr Gastroenterol Nutr.1990; 10 :548 –549
10. Vanderhoof JA, Murray ND, Kaufman SS, et al. Intolerance to protein hydrolysate infant formulas: an underrecognized cause of gastrointestinal symptoms in infants. J Pediatr.1997; 131 :741 –744
11. Winter HS, Antonioli DA, Fukagawa N, Marcial M, Goldman H. Allergy-related proctocolitis in infants: diagnostic usefulness of rectal biopsy. Mod Pathol.1990; 3 :5 –10
12. Goldman H, Proujansky R. Allergic proctitis and gastroenteritis in children. Clinical and mucosal biopsy features in 53 cases. Am J Surg Pathol.1986; 10 :75 –86
13. Wyllie R. Cow’s milk protein allergy and hypoallergenic formulas. Clin Pediatr (Phila).1996; 35 :497 –500
14. Kuitunen P, Visakorpi J, Savilahti E, Pelkonen P. Malabsorption syndrome with cow’s milk intolerance: clinical findings and course in 54 cases. Arch Dis Child.1975; 50 :351 –356
15. Iyngkaran N, Yadav M, Boey C, Lam K. Severity and extent of upper small bowel mucosal damage in cow’s milk protein-sensitive enteropathy. J Pediatr Gastroenterol Nutr.1988; 8 :667 –674
16. Walker-Smith JA. Cow milk-sensitive enteropathy: predisposing factors and treatment. J Pediatr.1992; 121 :S111 –S115
17. Iyngkaran N, Robinson MJ, Prathap K, Sumithran E, Yadav M. Cows’ milk protein-sensitive enteropathy. Combined clinical and histological criteria for diagnosis. Arch Dis Child.1978; 53 :20 –26
18. Yssing M, Jensen H, Jarnum S. Dietary treatment of protein-losing enteropathy. Acta Paediatr Scand.1967; 56 :173 –181
19. Hauer AC, Breese EJ, Walker-Smith JA, MacDonald TT. The frequency of cells secreting interferon-gamma and interleukin-4,–5, and -10 in the blood and duodenal mucosa of children with cow’s milk hypersensitivity. Pediatr Res.1997; 42 :629 –638
20. Kokkonen J, Haapalahti M, Laurila K, Karttunen TJ, Maki M. Cow’s milk protein-sensitive enteropathy at school age. J Pediatr.2001; 139 :797 –803
21. Powell GK. Milk- and soy-induced enterocolitis of infancy. J Pediatr.1978; 93 :553 –560
22. Powell G. Food protein-induced enterocolitis of infancy: differential diagnosis and management. Compr Ther.1986; 12 :28 –37
23. Sicherer SH, Eigenmann PA, Sampson HA. Clinical features of food protein-induced enterocolitis syndrome. J Pediatr.1998; 133 :214 –219
24. Vandenplas Y, Edelman R, Sacre L. Chicken-induced anaphylactoid reaction and colitis. J Pediatr Gastroenterol Nutr.1994; 19 :240 –241
25. Nowak-Wegrzyn A, Sampson HA, Wood RA, Sicherer SH. Food protein-induced enterocolitis syndrome caused by solid food proteins. Pediatrics.2003; 111 :829 –835
26. Murray K, Christie D. Dietary protein intolerance in infants with transient methemoglobinemia and diarrhea. J Pediatr.1993; 122 :90 –92
27. Powell GK. Enterocolitis in low-birth-weight infants associated with milk and soy protein intolerance. J Pediatr.1976; 88 :840 –844
28. Gryboski J. Gastrointestinal milk allergy in infancy. Pediatrics.1967; 40 :354 –362
29. Lake AM. Food protein-induced colitis and gastroenteropathy in infants and children. In: Metcalfe DD, Sampson HA, Simon RA, eds. Food Allergy: Adverse Reactions to Foods and Food Additives. Boston, MA: Blackwell Scientific Publications; 1997:277–286
30. Halpin TC, Byrne WJ, Ament ME. Colitis, persistent diarrhea, and soy protein intolerance. J Pediatr.1977; 91 :404 –407
31. Jenkins H, Pincott J, Soothill J, Milla P, Harries J. Food allergy: the major cause of infantile colitis. Arch Dis Child.1984; 59 :326 –329
32. Benlounes N, Candalh C, Matarazzo P, Dupont C, Heyman M. The time-course of milk antigen-induced TNF-alpha secretion differs according to the clinical symptoms in children with cow’s milk allergy. J Allergy Clin Immunol.1999; 104 :863 –869
33. Osterlund P, Jarvinen KM, Laine S, Suomalainen H. Defective tumor necrosis factor-alpha production in infants with cow’s milk allergy. Pediatr Allergy Immunol.1999; 10 :186 –190
34. Chung HL, Hwang JB, Park JJ, Kim SG. Expression of transforming growth factor beta1, transforming growth factor type I and II receptors, and TNF-alpha in the mucosa of the small intestine in infants with food protein-induced enterocolitis syndrome. J Allergy Clin Immunol.2002; 109 :150 –154
35. Busse P, Sampson HA, Sicherer SH. Non-resolution of infantile food protein-induced enterocolitis syndrome (FPIES). J Allergy Clin Immunol.2000; 105 :S129 (abstr)
36. Forget PP, Arenda JW. Cow’s milk protein allergy and gastroesophageal reflux. Eur J Pediatr.1985; 144 :298 –300
37. Staiano A, Troncone R, Simeone D, et al. Differentiation of cows’ milk intolerance and gastro-oesophageal reflux. Arch Dis Child.1995; 73 :439 –442
38. Cavataio F, Iacono G, Montalto G, et al. Gastroesophageal reflux associated with cow’s milk allergy in infants: which diagnostic examinations are useful? Am J Gastroenterol.1996; 91 :1215 –1220
39. Cavataio F, Iacono G, Montalto G, Soresi M, Tumminello M, Carroccio A. Clinical and pH-metric characteristics of gastro-oesophageal reflux secondary to cows’ milk protein allergy. Arch Dis Child.1996; 75 :51 –56
40. Iacono G, Carroccio A, Cavataio F, et al. Gastroesophageal reflux and cow’s milk allergy in infants: a prospective study. J Allergy Clin Immunol.1996; 97 :822 –827
41. Ravelli AM, Tobanelli P, Volpi S, Ugazio AG. Vomiting and gastric motility in infants with cow’s milk allergy. J Pediatr Gastroenterol Nutr.2001; 32 :59 –64
42. Milocco C, Torre G, Ventura A. Gastro-oesophageal reflux and cows’ milk protein allergy. Arch Dis Child.1997; 77 :183 –184
43. Hill DJ, Hosking CS. Infantile colic and food hypersensitivity. J Pediatr Gastroenterol Nutr.2000; 30(suppl) :S67 –S76
44. Lucassen PL, Assendelft WJ, Gubbels JW, van Eijk JT, van Geldrop WJ, Neven AK. Effectiveness of treatments for infantile colic: systematic review. Br Med J.1998; 316 :1563 –1569
45. Castro-Rodriguez JA, Stern DA, Halonen M, et al. Relation between infantile colic and asthma/atopy: a prospective study in an unselected population. Pediatrics.2001; 108 :878 –882
46. Crotteau CA, Wright ST, Eglash A. Clinical inquiries. What is the best treatment for infants with colic? J Fam Pract. 2006 Jul;55(7):634-6
47. Chapman DJ. Does maternal diet contribute to colic among breastfed infants. J Hum Lact. 2006 May;22(2):236-7
48. Forsyth BW. Colic and the effect of changing formulas: a double-blind, multiple-crossover study. J Pediatr. 1989 Oct;115(4):521-6
49. Schach B, Haight M. Colic and food allergy in the breastfed infant: is it possible for an exclusively breastfed infant to suffer from food allergy. J Hum Lact. 2002 Feb;18(1):50-2
50. Iacono G, Carroccio A, Montalto G, Cavataio F, Bragion E, Lorello D, Balsamo V, Notarbartolo A. Severe infantile colic and food intolerance: a long-term prospective study. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 1991 Apr;12(3):332-5
51. Heine RG.Gastroesophageal reflux disease, colic and constipation in infants with food allergy. Curr Opin Allergy Clin Immunol. 2006 Jun;6(3):220-5.
52. Sampson HA, McCaskill CC. Food hypersensitivity and atopic dermatitis: evaluation of 113 patients. J Pediatr.1985; 107 :669 –675
53. Burks AW, James JM, Hiegel A, et al. Atopic dermatitis and food hypersensitivity reactions. J Pediatr.1998; 132 :132 –136
54. D’Netto MA, Herson VC, Hussain N, et al. Allergic gastroenteropathy in preterm infants. J Pediatr.2000; 137 :480 –486
55. Talley NJ, Shorter RG, Phillips SF, Zinsmeister AR. Eosinophilic gastroenteritis: a clinicopathological study of patients with disease of the mucosa, muscle layer, and subserosal tissues. Gut.1990; 31 :54 –58
56. Caldwell JH, Mekhjian HS, Hurtubise PE, Beman FM. Eosinophilic gastroenteritis with obstruction. Immunological studies of seven patients. Gastroenterology.1978; 74 :825 –828
57. Dobbins JW, Sheahan DG, Behar J. Eosinophilic gastroenteritis with esophageal involvement. Gastroenterology.1977; 72 :1312 –1316
58. Orenstein SR, Shalaby TM, Di Lorenzo C, Putnam PE, Sigurdsson L, Kocoshis SA. The spectrum of pediatric eosinophilic esophagitis beyond infancy: a clinical series of 30 children. Am J Gastroenterol.2000; 95 :1422 –1430
59. Vitellas KM, Bennett WF, Bova JG, Johnston JC, Caldwell JH, Mayle JE. Idiopathic eosinophilic esophagitis. Radiology.1993; 186 :789 –793
60. Martino F, Bruno G, Aprigliano D, et al. Effectiveness of a home-made meat based formula (the Rezza-Cardi diet) as a diagnostic tool in children with food-induced atopic dermatitis. Pediatr Allergy Immunol.1998; 9 :192 –196
61. Van Rosendaal GM, Anderson MA, Diamant NE. Eosinophilic esophagitis: case report and clinical perspective. Am J Gastroenterol.1997; 92 :1054 –1056
62. Rothenberg ME, Mishra A, Collins MH, Putnam PE. Pathogenesis and clinical features of eosinophilic esophagitis. J Allergy Clin Immunol.2001; 108 :891 –894
63. Attwood SE, Smyrk TC, Demeester TR, Jones JB. Esophageal eosinophilia with dysphagia. A distinct clinicopathologic syndrome. Dig Dis Sci.1993; 38 :109 –116
64. Ruchelli E, Wenner W, Voytek T, Brown K, Liacouras C. Severity of esophageal eosinophilia predicts response to conventional gastroesophageal reflux therapy. Pediatr Dev Pathol.1999; 2 :15 –18
65. Lee RG. Marked eosinophilia in esophageal mucosal biopsies. Am J Surg Pathol.1985; 9 :475 –479
66. Walsh SV, Antonioli DA, Goldman H, et al. Allergic esophagitis in children: a clinicopathological entity. Am J Surg Pathol.1999; 23 :390 –396
67. Liacouras CA, Wenner WJ, Brown K, Ruchelli E. Primary eosinophilic esophagitis in children: successful treatment with oral corticosteroids. J Pediatr Gastroenterol Nutr.1998; 26 :380 –385
68. Kelly KJ, Lazenby AJ, Rowe PC, Yardley JH, Perman JA, Sampson HA. Eosinophilic esophagitis attributed to gastroesophageal reflux: improvement with an amino-acid based formula. Gastroenterology.1995; 109 :1503 –1512
69. Spergel JM, Beausoleil JL, Mascarenhas M, Liacouras CA. The use of skin prick tests and patch tests to identify causative foods in eosinophilic esophagitis. J Allergy Clin Immunol.2002; 109 :363 –368
70. Faubion WAJ, Perrault J, Burgart LJ, Zein NN, Clawson M, Freese DK. Treatment of eosinophilic esophagitis with inhaled corticosteroids. J Pediatr Gastroenterol Nutr.1998; 27 :90 –93
71. Shirai T, Hashimoto D, Suzuki K, et al. Successful treatment of eosinophilic gastroenteritis with suplatast tosilate. J Allergy Clin Immunol.2001; 107 :924 –925
72. Neustrom MR, Friesen C. Treatment of eosinophilic gastroenteritis with montelukast. J Allergy Clin Immunol.1999; 104 :506
73. Sicherer SH, Noone SA, Koerner CB, Christie L, Burks AW, Sampson HA. Hypoallergenicity and efficacy of an amino acid-based formula in children with cow’s milk and multiple food hypersensitivities. J Pediatr.2001; 138 :688 –693
74. Ortolani C, Ispano M, Pastorello E, Bigi A, Ansaloni R. The oral allergy syndrome. Ann Allergy.1988; 61 :47 –52
75. Ortolani C, Pastorello EA, Farioli L, et al. IgE-mediated allergy from vegetable allergens. Ann Allergy.1993; 71 :470 –476
76. Farrell RJ, Kelly CP. Celiac sprue. N Engl J Med.2002; 346 :180 –188
77. Ferguson A. Mechanisms in adverse reactions to food. The gastrointestinal tract. Allergy.1995; 50 :32 –38
78. Vanderhoof JA, Perry D, Hanner TL, Young RJ. Allergic constipation: association with infantile milk allergy. Clin Pediatr (Phila).2001; 40 :399 –402
79. Iacono G, Carroccio A, Cavataio F, Montalto G, Cantarero MD, Notarbartolo A. Chronic constipation as a symptom of cow milk allergy. J Pediatr.1995; 126 :34 –39
80. Iacono G, Cavataio F, Montalto G, et al. Intolerance of cow’s milk and chronic constipation in children. N Engl J Med.1998; 339 :1100 –1104
81. Daher S, Tahan S, Sole D, et al. Cow’s milk protein intolerance and chronic constipation in children. Pediatr Allergy Immunol.2001; 12 :339 –342
82. Terr AI, Salvaggio JE. Controversial concepts in allergy and clinical immunology. In: Bierman CW, Pearlman DS, Shapiro GG, Busse WW, eds. Allergy, Asthma, and Immunology From Infancy to Adulthood. Philadelphia, PA: WB Saunders; 1996:749–760
83. Zeiger RS, Sampson HA, Bock SA, et al. Soy allergy in infants and children with IgE-associated cow’s milk allergy. J Pediatr.1999; 134 :614 –622
84. Bellioni-Businco B, Paganelli R, Lucenti P, Giampietro PG, Perborn H, Businco L. Allergenicity of goat’s milk in children with cow’s milk allergy. J Allergy Clin Immunol.1999; 103 :1191 –1194
85. Kelso JM, Sampson HA. Food protein-induced enterocolitis to casein hydrolysate formulas. J Allergy Clin Immunol.1993; 92 :909 –910
86. Frisner H, Rosendal A, Barkholt V. Identification of immunogenic maize proteins in a casein hydrolysate formula. Pediatr Allergy Immunol.2000; 11 :106 –110
87. Isolauri E, Sutas Y, Makinen KS, Oja SS, Isosomppi R, Turjanmaa K. Efficacy and safety of hydrolyzed cow milk and amino acid-derived formulas in infants with cow milk allergy. J Pediatr.1995; 127 :550 –557
88. Ventura A, Ciana G, Vinci A, Davanzo R, Giannotta A, Perini R. [Hypertrophic stenosis of the pylorus. Correlations with allergy to milk proteins and atopy]Pediatr Med Chir. 1987 Nov-Dec;9(6):679-83. Italian.
89. Ventura A, Ciana G, Vinci A, Davanzo R, Giannotta A, Perini R. [Hypertrophic stenosis of the pylorus. Correlations with allergy to milk proteins and atopy]Pediatr Med Chir. 1987 Nov-Dec;9(6):679-83. Italian.